Surat Imajiner untuk Bung Gordon yang Sinis pada Uang

Table of Contents

Surat Imajiner untuk Bung Gordon yang Sinis pada Uang
Ilustrasi: Ainul Yakin

Pagi, bung Gordon. 

Saya sudah membaca cerita bung Orwell tentang dirimu dalam Keep the Aspidistra Flying. Tentu yang segera menarik perhatianku adalah soal bung, soal sinisme bung kepada uang. Bung benci uang, benci kemapanan.

Sebelum melanjutkan surat ini, sebat dulu. Oh ya bung Gordon merokok? Oh sudah tentu. Ini hanya pertanyaan basa-basi kok bung. Dari cerita bung Orwell, saya tahu bahwa bung Gordon itu perokok berat. Menulis puisi pun bung butuh rokok kan? Haha.

Dari mana saya akan memulai bung? Oh ya dari sini. Soal uang, kekayaan, kemapanan. Bung itu sejatinya berasal dari keluarga yang kekayaan atau kebesaran nama keluarganya berhenti di silsilah sang kakek kan? Itu berarti kakek bung adalah orang terakhir yang mewarisi kekayaan - termasuk mentalitas sebagai seorang kaya. Sedangkan keturunannya: bapak dan saudara-saudaranya (paman dan bibi bung) sudah tepat dikatakan sebagai keluarga melarat, miskin. Orwell di situ tak menampik bahwa ada paman atau bibi yang lain yang mungkin kaya, tapi menjauh. Tak sudi berbagi hidup dengan orang-orang melarat, bukan begitu bung?

Nah, ngopi lagi bung. Sruttttt!!! Ahhh!

Nah dari situ bung mulai terlihat ada rasa sinis pada orang kaya. Dari cerita Orwell, kebencian itu makin mengental - mengambil bentuk yang lebih jelas dan sulit dilunakkan, adalah saat bung sekolah dan tinggal di asrama sekolah itu. Tentu itu sekolah untuk orang kaya kan bung? Dan bung orang miskin, tapi berkat perjuangan Julia (kakak perempuan bung) dan ibunya, bung bisa sekolah di sana.

Di sana bung dibully. Akhirnya bung membenci orang kaya. Apa yang membuat orang jadi kaya? Bung menunjuk dengan jitu: ada uang di situ? Maka bung mulai membenci uang sebagai alasan masalah-masalah sosial itu. 

Sejak itu, bung di sekolah mulai mengembangkan jiwa revolusioner bung, jiwa pemberontak; bung baca buku-buku yang agak radikal. Protes sana sini, dan bung punya kawan sesama miskin yang radikal. Jadi di sini, meski miskin, otak bung oke juga. Dan intelektualitas bung dipertajam untuk membenci uang. Damn it!! Luar biasa bung! 

Sampai di sini, izin saya ngopi lagi bung. Lagi pula rokok ini kalo tak disedot akan mati.

Bung pinter, tapi kemudian bung, dalam pandangan saya, seakan terjebak pada sinisme yang naif bung. Bagaimana saya bisa ambil kesimpulan itu? Oke bung boleh marah, tapi saya akan katakan sejujurnya. 

Begini bung. Dari cerita Orwell, kebencian bung itu seperti kebencian orang mabuk akhirnya. Bung nampak tak punya kalkulasi yang matang untuk mengarahkan sinisme bung, atau kebencian bung pada kemapanan, atau kepada uang. Dengan kata lain, bung nampak sembrono di sini.

Saya mulai dari sini. Lewat relasi paman dan orang terdekat bung lainnya, bung akhirnya dapet pekerjaan yang membuat bung agak sedikit sejahtera. Kerjaan itu kantoran loh bung. Ya bung berpakaian rapi, celana bahan, sepatu pantofel, duduk depan laptop, mencari ide dan menulis iklan. Bung juga dibolehkan menulis puisi. Bahkan atasan bung suka dengan bung lantaran itu. Bung dipanggil penyair. Bonus lain, bung bertemu Rosemary (maaf kalo nanti keliru nama bung) cewek yang akhirnya disukai bung. 

Tapi bung mempertahankan sinismenya pada uang, pada cara kerja uang yang menurut bung di situ ada perbudakan. Bung merasa tidak merdeka jika harus hidup mapan lewat kerja atau terikat dengan dunia uang. Bung ingin merdeka dengan menjadi penulis, menulis puisi, sebagai penyair. Bung mengirimkan puisinya ke koran, dan di situ dapet uang secukupnya untuk hidup. Dan menurut bung itu lebih merdeka?

Sinisme itu membuat bung resign dari kantor, dan akhirnya di toko buku, yang pemiliknya sengaja mencari pegawai murah tapi rajin bekerja kayak bung. Dan... oh dunia macam apa ini, bung lebih suka hidup semacam itu: kerja dengan gaji kecil di toko buku. 

Bung, di sini segera terlihat bahwa di balik sinisme bung yang terlihat idealis bagi bung, ternyata menyimpan suatu egoisme bung. Baik bung mungkin tidak menyadari itu, atau bung sadar, tapi sinisme pada uang cukup kuat menjerat bung. 

Izin seruput kopi dulu bung. Oh rokok tinggal sebat bung. 

Maaf bung kalo ini terdengar menyinggung bung. Sebab Orwell yang bilang sejak pragraf pertama di novel itu, bagaimana adegan bung yang bingung saat mendapati rokoknya tinggal dua batang, sementara uang di saku bung tinggal recehan, tidak cukup. Bung sembari mengutuk uang, tapi saat mendapati di sakunya tinggal recehan, bung jadi bingung.

Oke lanjut bung, di mana egoisme bung. Ingat-ingat apa yang terjadi di keluarga bung. Di keluarga bung Gordon, terutama kakak perempuan bung dan ibu bung, punya keyakinan bahwa bung Gordon lah yang bisa menaikkan martabat keluarga. Karena bung pintar. Orang pintar punya potensi mendapatkan kerjaan yang lebih layak, dengan gaji lebih tinggi, dan akhirnya bisa membantu ekonomi keluarga. Begitu bung yang diimpikan keluarga bung.

Nah, saya akan bicara Julia, kakak perempuan bung yang memilih menjadi janda miskin dan bodoh seumur hidup. Dia itu pahlawan bung. Dia itu menerima kenyataan paksaan budaya di keluarga bahwa anak perempuan tak perlu pintar, dan itu sebabnya tak perlu disekolahkan. Julia menerima takdir budaya itu, dan ia bekerja dengan harapan memiliki uang yang cukup, untuk dirinya dan untuk biayai sekolah bung Gordon. Dalam keadaan kerja yang lebih dari delapan jam, ambil banyak pekerjaan lain juga, Julia itu merasa senang karena dalam hatinya ada semangat menyekolahkan bung yang diharapkan kelak jadi pintar dan bisa kaya.

Tapi bung seusai lulus sekolah, bung mendapatkan kerja yang layak, tapi akhirnya ditelantarkan lantaran alasan sinis atau benci pada uang. Bung benci pada kapitalisme dan akhirnya bung memilih menjauh dari dunia uang. Menjauh dari kemapanan. 

Saya akan menyoroti Rosemary, perempuan yang disukai bung. Di sini bung bertindak sebagai lelaki yang tak boleh dikasihani. Pantang bung dibayari oleh cewek bung. Bung rela tak makan, tak minum, jika harus Rosemary yang bayari. Bahkan saat jalan-jalan pun, bung memilih pinjem duit ke Julia (alamak bung). Padahal Rosemary bersikap jelas di sini, dia tak mau dibayari oleh bung, misal. Atau boleh saja siapa yang punya uang saling bayari. Tapi bung kokoh dengan sikap bung. Bung sadar dia jadi banyak mengalah pada pikiran bung. 

Terakhir bung, ibu bung akhirnya meninggal saat bung dalam keadaan jatuh miskin. Bung dengan kemiskinan dan kemelaratan bung tak bisa berbuat apa-apa untuk pengobatan ibu bung. Paman dan bibi bung yang lainnya yang terjerat dalam kemelaratan tak tertolong bung. Julia - yang sudah mengabdikan sepenuh hidupnya, mengalah untuk bung - terus menerus menjadi tempat pinjaman uang oleh bung Gordon.

Di titik ini, bung Gordon dalam cerita Orwell terlihat sangat absurd. Berusaha konsisten membenci uang dengan memilih hidup melarat, itu seperti bunuh diri secara perlahan bung Gordon. Sinisme bung Gordon pada uang menggali kuburan bung sendiri. 

Oh ya, saya belum selesai baca bung di novel itu. Tapi melihat egoisme bung, nampaknya tak akan banyak berubah dari karakter bung Gordon hingga akhir kisah Keep the Aspidistra Flying. Tapi saya akan terus mengikuti alur cerita bung, sekedar untuk tahu, jika bung konsisten pada sinisme pada uang semacam itu, kemelaratan seperti apa yang akan terus menimpa bung di depan nanti.

Salam dari pembaca bung Orwell tentang bung Gordon.


Rontal
Rontal Rontal.id adalah media online yang memuat konten seputar politik, sosial, sastra, budaya dan pendidikan.

Post a Comment