Di Mana Demonstran Itu Bersembunyi?
![]() |
Sumber: foto dari racinigi.com, diolah AI Nol |
**
SEJAK K MENGHILANG, POLISI SERING MENDATANGI RUMAHKU. MEREKA CURIGA AKU IKUT MENYEMBUNYIKANNYA.
*
Sumpah mati, aku sama sekali tak tahu di mana ia sembunyi. Tapi polisi memang kepala batu. Mereka geledah kamar, toilet, lemari, kolong tempat tidur bahkan lorong tikus. Tak ada celah yang terlewat.
"Kalau terbukti bersekongkol, kau juga akan kami seret," ancam seorang pria tanpa seragam. Barangkali intel.
Aku bergidik. Bagaimana jika tiba-tiba mereka mendapati K di rumah ini? Aku bisa saja berdalih. Tapi sejak kapan polisi mau mendengar? Banyak kawan K sudah ditangkap tanpa kesempatan berbicara. Sebagian bahkan meninggal dengan tubuh penuh luka.
Sementara aparat terus mengawasi rumahku, aku tak henti-hentinya memikirkan teka-teki hilangnya K itu: di mana sebenarnya ia bersembunyi?
**
"Sekarang di mana-mana terjadi penangkapan?", ucap K suatu hari sebelum ia menghilang.
Kami duduk di warung kopi, di pinggir jalan dekat Pabrik Kahatex, Gempolsari. Jalanan sore itu begitu ramai. Nyaris tiap beberapa menit, terdengar klakson bernat-nit-nut. Apalagi pada jam tigaan, jam pulang para karyawan.
"Nikmatilah selagi gorengan masih panas bung," kataku mencoba mengalihkan berat pikirannya. Tapi gorengan di tangannya belum juga ia telan. Ia seperti kehilangan selera sore itu. Ia lebih banyak diam, dan tampak berpikir keras.
Dalam keadaan itu, ujung rokok kretek Janaka diantara apitan jari telunjuk dan jari tengahnya terus membara. Ia tak berhenti mengisapnya. Entah itu isapan kenikmatan atau sekadar berusaha mengaburkan kepanikan. Angin sore memain-mainkan kepulan asap rokok dari mulutnya.
"Polisi sekarang berlagak buta, menangkap siapa saja,” katanya dengan suara berat.
“Mereka menyebut demonstran perusuh. Mereka yang ditangkap tak pernah diberi hak berbicara. Kalau beruntung ya minimal tidak dipukuli. Tapi kau tahu kan berapa orang yang meninggal secara janggal, penuh luka?"
Ia mendesah. Asap Janaka melayang-layang dan berbaur dengan udara sore itu.
"Kau mau kabur ke mana?" tanyaku. Tak ada jawaban.
"Kau tahu di mana tempat teraman saat ini?", ia balik nanya akhirnya setelah terdiam agak lama. Aku menggeleng. Rasanya mudah bagi polisi untuk melacak persembunyian siapa pun. Pasti intel disebar di mana-mana. Ah, polisi, kok jadi bayang-bayangan ancaman masyarakat, keluhku dalam hati.
"Aku tahu," katanya kemudian. Kulihat ia tiba-tiba tersenyum. Aku menangkapnya senyum tak biasa.
*
Aku mengenal K sebagai pembaca aneh. Ia pernah tertawa-tawa saat menunjukkan drama Luigi Pirandello, Enam Tokoh yang Mencari Penulisnya.
"Lihat," katanya sembari menunjukkan buku itu, “cerita macam apa yang tokoh-tokoh rekaannya bisa bicara dengan naratornya. Gila kan! Hahaha".
Lain hari, ia terkekeh-kekeh membaca Kafka. “Bayangin, lu bangun tidur tiba-tiba jadi kecoa. Hidup macam apa itu?”
Aku tak ikut tertawa. Tapi ia tak peduli. Ia terus larut dalam bacaan itu dan tertawa sendiri.
Ia juga mengagumi Haruki Murakami, dengan banyak cerita yang nyaris seperti mimpi. Baginya, realitas itu adalah ruang dengan sekat yang begitu tipis antara yang realis dan surealis.
Tiba-tiba ingatan itu mengusikku. Jangan-jangan hilangnya K bukan sekadar melarikan diri. Mungkin ia sedang bermain petak umpet dengan kenyataan.
*
Suatu malam, aku terbangun lantaran dikejutkan oleh sebuah suara. Ya suaranya.
“Bung, aku di sini.”
Aku menoleh ke arah suara. Kosong. Hanya kegelapan yang menyelimuti titik suara berasal. Apakah aku sudah bermimpi? Aku benturkan kepalaku ke tembok. “Ouhhhh”, keluhku sembari meringis menahan rasa sakit.
“Bodoh! Hahaha! Kau tak sedang bermimpi, bung.”
“Jadi kau di mana?”
“Aku di rak buku.”
Di rak buku? Aku tak melihat ada celah untuk bersembunyi di sana kecuali jika dia seekor semut, atau sejenisnya.
"Saat polisi-polisi itu menggeledah rumah ini,” katanya, “aku mendengar panggilan suara-suara dari sebuah buku. Dan tiba-tiba aku sudah di dalamnya.”
Aku tertegun. K ada di dalam buku? Buku apa? K tertawa samar.
“Buku karangan Pirandello. Tokoh-tokoh di dalam buku ini menerimaku. Jadi, sekarang tak penting lagi enam atau tujuh tokoh di buku ini. Yang penting, aku aman.”
Aku diam sebentar. Dan tahu-tahu ku ingat kalau polisi sekarang juga sedang gencar menyita buku apapun yang dicurigai berisi doktrin kekerasan.
“Tapi kalau buku itu disita, atau dibakar, bagaimana denganmu?”
Ia terdiam lama. Lalu bergumam: “Mungkin aku harus pindah ke buku lain.”
"Semua buku sekarang tidak aman," aku tegasin lagi, “apalagi kalau di judulnya ada tulisan 'Revolusi', 'Anarkis', 'Kekerasan', dll. Buku resep pun disita, hanya karena ada kata 'revolusioner' di sampulnya."
Ia hanya terdiam.
*
Esoknya, aku buka buku Enam Tokoh yang Mencari Penulisnya. Kosong. Aku panggil tiga kali, tak ada jawaban.
Beberapa hari kemudian, suara itu muncul lagi.
“Bro, aku sekarang di sini.”
Aku mencari sumbernya. Dan kutemukan: suara itu berasal dari sebuah buku lusuh di pojok meja. Bukan Pirandello, bukan Kafka, bukan Murakami. Hanya buku panduan memasak.
Sepuluh hari berlalu, dan aku lupa tak mengecek buku itu lagi. Sampai suatu hari, kutemukan buku itu dalam keadaan terbuka. Beberapa halamannya terlepas, berceceran di lantai. Ada bekas sobekan, lecek sana-sini. Ku pungut buku itu. Dan selembar kertas meluncur dari sela halaman itu.
“Bung, kau masih di situ”, tanyaku sembari memungut selembar yang terjatuh. Tak ada jawaban. Tahu-tahu mataku tertuju pada sebuah tulisan pendek. Seperti ditulis buru-buru:
“Benar katamu, bung. Sekarang tak ada buku yang aman dari cengkeraman polisi.”
Post a Comment