Kesaksian Motor Butut

Table of Contents

 

Gambar oleh: AI Gemini & AI Nol

Motor butut itu sudah jarang dipakai. Tuannya sepertinya sudah tak lagi tertarik mengendarainya. Meski begitu, tak ada tanda-tanda sang tuan hendak berpindah hati ke motor yang lebih baru, lebih segar, lebih kuat. Tak ada! Bagaimana pula ia membeli motor baru, kalau kantongnya hanya berisi beberapa lembar lima ribuan, 20 ribuan saja. Aku menduga mungkin ada peristiwa lain yang membuatnya ingin menyudahi kelananya dengan motor itu. Tapi peristiwa apa? Aku tak bisa menduga-duga. Andai motor butut itu diberi waktu untuk berkisah - tepatnya mengisahkan kisah cinta tuannya, maka beginilah jadinya.


I

Sore menjelang malam itu, gerimis tak menunjukkan niatnya untuk berhenti sejenak. Untuk sekadar memberi aku dan tuanku menempuh suatu jarak dari Kota J ke Kota B. Untuk kepentingan apa?

Tuanku demikian gelisah beberapa hari belakangan ini. Pikirannya seperti terpisah dari tubuh fisiknya. Raut wajahnya menyiratkan suatu yang genting. Berkali-kali ia berupaya untuk bisa menuntaskan soal ini lewat telpon atau chat. Tapi nampaknya upaya itu tak menghasilkan apa-apa. Sepertinya buntu. Lebih lagi, orang yang dihubungi seakan memutuskan untuk tak bisa dihubungi. Orang di kota B itu semakin berupaya menjauh.

Aku pernah memergoki tuanku duduk lama sekali di beranda rumah tua ini. Hanya diam saja. Itu tiga hari yang lalu. Semula aku tak mengerti, dan memang hingga saat ini aku tak banyak mengerti tentang apa yang terjadi. Tapi kadang kudengar juga beberapa patah kata bermunculan: oh hidup, oh H, mengapa harus begini? Bukankah kita pernah ingin bersama? Kadang kudengar juga ia mengeluh: oh Tuhan. Kadang pada kali lain dia berteriak: oh bangsat!

Kadang ia memetik gitar. Tapi jemari tangannya tak menghasilkan petikan yang enak didengar. Jari-jarinya seperti bergerak tanpa arah, menabrak aturan-aturan yang bisa menghasilkan estetika.

Kata-kata yang menjelma keluhan itu seperti kepingan puzzle. Aku bisa meraba-raba pengertiannya bila ku susun dan sambung-sambungkan dengan peristiwa pertemuan dengan seseorang. Ah, aku tahu namanya. Tapi tuanku akan marah bila ku sebut pula namanya. Katakanlah: H. Dan bukan kali pertama aku biasa menemani tuanku ke kota B, kediaman H. Sudah berkali-kali.


II

Saat itu, pagi-pagi sekali. Tuanku sudah mandi. Tercium wangi dari sebuah botol di tangan tuan. Setiap kali botol itu menyemprotkan cairan ke tubuh tuanku, rasanya seruangan ikut wangi. Ia berdiri di depan kaca. Bersiul, ber-nanana, dan seperti melatih berbagai macam ekspresi. Di sampingnya, pada sebuah meja di samping cermin, lengkap berbagai macam pewangi, krim wajah, bedak, dan lain-lain. Ia olesi wajahnya dengan berbagai - ah entah apa namanya. Kadang beberapa saat, aku tak dapat mengenali wajahnya lantaran dipenuhi olesan putih seperti bayi yang dibedaki. Beberapa menit kemudian, ia membasuh mukanya. Dan ya, rasanya wajah tuanku terlihat lebih segar. Demikian tiap kali ia hendak pergi ke kota B.

Ia bersiul, dan bersenandung tanpa lirik tiap kali ia menatap cermin dengan wajah berbunga-bunga. Aku beberapa kali menyimaknya, dan rasanya itu seperti sebuah lirik lagu ini: kamu adalah /perempuan paling cantik /di negeriku Indonesia /kamulah yang nomor satu... Belakangan aku tahu: itu lagunya Dewa 19.

Tuanku sudah memakai baju yang dapat dikatakan lebih dari pantas, lebih dari sekadar baju sehari-hari. Andai motor butut sepertiku bisa tersenyum, pasti aku sudah tersenyum; atau andai aku bisa berbicara, aku akan bilang: tumben bos rapi banget... Maka aku akan menyertainya dengan tawa. Ah, aku hanya motor butut.


III

Jalan dari kota J ke kota B tidak bisa dibilang dekat. Aku tak tahu berapa kilo meter. Tapi rasanya, aku - motor butut ini - harus menempuh kurang lebih dua jam lebih. Tuanku tahu aku motor butut. Maka dia mengatur kecepatannya dengan baik: tak terlampau cepat, juga tak terlalu pelan. Beberapa kali, aku diajaknya melipir ke pinggir jalan. Aku tak menuntut banyak, cukup berikan aku premium. Pertalite boleh, tapi jangan sering. Pertamax terlampau mewah untukku. Cukup perhatikan oli mesinku, tiap bulan atau tiap dua boleh, tergantung seberapa sering aku harus ke kota B dari kota J.

Di jalanan kota metropolitan J atau di kota B, aku tak bisa bersaing dengan motor-motor lainnya. Mereka tentu lebih mentereng secara tampilan, dan energi pacunya jauh berkali-kali lipat ketimbang daya pacuku. Mereka bisa membuat orang-orang tergoda untuk memiliki. Tapi aku diam-diam menaruh bangga pada diriku: meski sebutut ini, aku masih dibutuhkan untuk melayani tuanku. Aku melayani perjuangan cinta tuanku. Aku berlari di tengah hujan, menembus banjir di beberapa titik di kota J atau kota B, meliuk-liuk di antara gang-gang sempit, dan tak ribet jika harus memutar balik saat mentok di gang buntu. Aku tak pernah merengek minta di-servis meski kadang-kadang tuanku yang - maaf-maaf tak berkelimpahan duit - lupa jadwal servis.

Dokumen-dokumen perlengkapan motor? Ah, jangan ditanya. Tuanku lupa di mana menaruh barang sakral itu. Lupa atau hilang? Sama saja. Aku dibiarkan tak memiliki dokumen itu seakan jika polisi menghentikan aku, dia akan pasrah menyerahkannya ke polisi. Itu pun jika polisi sudi menerimaku. Meski begitu, ia tetap membutuhkanku lebih dari yang lain.


IV

Setelah melewati beberapa kelokan sebuah gang, sampailah aku di sebuah pintu berpagar hitam. Aku biasanya diajak masuk. Tapi kali ini, seakan buru-buru, tuanku membuatku menunggu di luar. Rasanya tak biasa. Tapi aku tak protes. Tuanku sendiri sepertinya sedang berdiri di depan pintu. Persis. Siapa yang ditunggu? Tentu saja H. Tapi yang keluar tak lain hanyalah ibunya. Tuanku disilakan masuk, tapi tuanku memilih duduk di kursi di beranda. Sampai menjelang malam, dia hanya duduk sama ibunya H.

Dari balik pagar, kulihat sang ibu memberikan sebuah surat. Mungkin titipan dari H. Tuanku membuka surat itu. Lama ia menekuri surat itu seperti ia menekuri sebuah tulisan panjang. Kelak aku tahu. Di surat itu, tak ada kalimat panjang. Hanya dua kata yang mengakhiri semuanya: lupakan aku.

Tuanku tak dapat menahan sesuatu yang menggenang di matanya, betapa pun ia berusaha menahannya. Sang ibu memberikan penghiburan terakhir: sebuah pelukan dan kata-kata penuh kelembutan.

"Nak, aku bangga kau memanggilku ibu. Apapun yang terjadi setelah ini, jangan lupakan panggilan itu," katanya. Tuanku mencium tangan orang tua itu, dan perlahan berbalik. Satu-satu langkahnya menjauhkannya dari sang ibu, dari rumah itu, dan dari semua kenangan yang pernah ingin ia jadikan abadi. Ia tutup pagar rumah itu dari luar seakan ia tak ingin membukanya lagi. Andai aku bisa berbicara sekali pun, aku tak kan bertanya apapun soal apa yang terjadi. Rasanya segalanya mengarah pada satu hal: kisah mereka telah berakhir.


V

Dalam perjalanan pulang, aku terengah-engah dipacu dengan kecepatan tinggi. Hujan yang deras, titik banjir di mana-mana, tak membuat tuanku mengajakku berhenti. Tarikan gas membuatku berteriak-teriak. Rasanya aku mengeluarkan asap di knalpotku. Entah sudah berapa lama, tuanku tak menggantikan bensin.

Ah, tuanku, tolonglah.. jangan pacu aku lebih kencang lagi. Aku pasti tak mampu. Motor butut ini akan segera istirahat jika kau pacu demikian kencang. Tapi aku tak bisa berbicara padanya. Maka aku hanya berharap sampai titik mana ia lelah dan berhenti, maka di situlah aku akan bisa beristirahat.

Tuhan mungkin mendengarku. Tak lama kemudian, tuanku melipir ke pinggir jalan. Ia melipir ke sebuah warung nasi pecel pinggir jalan. Ia memesan nasi dua piring, sepotong paha dan dada ayam lengkap dengan sambelnya. Ia makan sepuasnya. Ia lahap habis pula segelas teh panas. Seperti teringat sesuatu, ia menatapku dan beranjak dari tempat ia makan untuk duduk di dekatku.

"Motor bututku, semuanya sudah selesai. Seluruh rangkaian kisah dari awal sampai akhir, detail-detail drama yang terjadi, hanya kau yang benar-benar tahu. Tak ada siapa pun yang benar-benar tahu perjuanganku selain dirimu. Jika aku ada salah, jika aku kurang memperhatikanmu, jika aku tak lebih dari seorang bangsat yang menggunakanmu tanpa perawatan yang rutin.. maafkan aku.

...aku tahu, ceritaku ini akan terus terpendam, karena kau tak bisa berbicara, tak bisa bercerita. Itu kenapa aku bercerita kepadamu sebagai pelepasan saja apa yang ada di hatiku. Jika setelah ini aku melepaskanmu, menjualnya ke orang lain, jangan marah ya... Aku hanya ingin mengubur kisah ini."

Rasanya suara tuanku terlampau nyaring, mungkin terdengar pembeli lain. Sebab ku dengar bisik-bisik dari mereka: dia sudah gila, masa motor diajak ngobrol.

Andai mereka tahu aku bisa mendengarnya, rasanya mereka tak kan berani bicara seperti itu.


VI

Aku menceritakan kesaksian kisah cinta tuanku kepada penulis cerpen ini, supaya aku bisa lepas dari beban kisah, kesaksian yang menyedihkan. Jika sang penulis menambalnya dengan detail dan khayalan lain, biar itu jadi urusan dia. Asal ia tak mengubah liukan kisah utama tuanku.

Oh ya, saat cerita ini sudah ditulis dan dibaca khalayak, aku sudah ada di bengkel dan divonis 'tak berfungsi' seumur hidupku. Aku sudah dipisahkan dari berbagai rangka-rangka lainnya. Kini aku tak lain hanya onggokan besi-besi, potongan-potongan yang tak bisa disebut motor lagi. Memang aku lebih baik istirahat total seumur hidup atau sepenuhnya lenyap sebagai kepingan besi-besi tua.


Mulai ditulis di Jakarta, 5 Desember 

2024. Lalu diselesaikan di Bandung, pada 12 September 2025

Post a Comment