Adab, Ilmu, dan Bayang-Bayang Pesantren
Satu tayangan Trans7 memantik amarah.
Seorang kiai karismatik dianggap telah dilabeli, dunia pesantren ‘terusik’, dan sebagian publik merasa adab telah dilecehkan. Dalam waktu singkat, dunia media sosial berubah menjadi mimbar kemarahan.
Tapi seperti biasa, kemarahan sering menjadi kabut. Ia menutupi hal-hal yang sebenarnya lebih penting untuk dibicarakan.
*1/*
Kita tahu, pesantren adalah salah satu pilar tertua dalam sejarah pendidikan di negeri ini. Dari sanalah muncul ulama, guru bangsa, pemimpin moral.
Tapi waktu berjalan, dan lembaga-lembaga tua kadang menua lebih cepat dari semangat zamannya.
Hari ini, banyak pesantren berdiri dengan bangunan yang tak memenuhi syarat keselamatan. Masih segar dalam ingatan kita berita tentang Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo yang mengalami atap runtuh sehingga 171 santri yang menjadi korban (67 tewas, 104 selamat). Lalu semuanya berlalu, tanpa pembelajaran. Seolah nyawa hanya catatan kaki dalam daftar pembangunan yang tergesa-gesa.
Regulasi negara pun longgar. Siapa pun bisa mendirikan pesantren, asal punya niat dan sebidang tanah. Prinsipnya: yang penting jadi. Entah harus berapa kasus lagi kita belajar bahwa niat baik tanpa perencanaan justru melahirkan bahaya.
Ada pula persoalan kepemilikan. Banyak pesantren yang sejatinya lembaga pendidikan, tapi dalam praktiknya dimiliki pribadi. Ketika kiai wafat, pesantren diwariskan seperti rumah atau sawah. Maka pesantren pun tak jarang berubah menjadi kerajaan kecil, tempat takhta berpindah bukan karena meritokrasi, tapi garis darah.
*2/*
Hubungan kiai dan santri selalu istimewa. Tapi di sejumlah tempat, keistimewaan itu menjelma menjadi ketundukan. Kiai tak sekadar dihormati, ia disucikan. Kritik dianggap kurang ajar, pertanyaan dianggap durhaka.
Dan setiap kali ada suara yang mencoba menyoal, satu kalimat muncul: adab di atas ilmu.
Kalimat ini indah, tapi juga berbahaya ketika kehilangan konteks. Sebab orang tak bisa beradab tanpa mengetahui apa itu adab. Ilmu mendahului adab, seperti kesadaran mendahului tindakan. Jika tidak, adab hanya tinggal ritual: tunduk tanpa paham, patuh tanpa sadar.
Dalam cara yang halus, kalimat itu bisa menjadi alat kekuasaan. Ia memisahkan antara yang boleh bicara dan yang hanya boleh diam.
Singkatnya, adagium itu cacat secara epistemologis.
*3/*
Yang menarik dari perdebatan ini adalah bagaimana semua pihak merasa paling tahu makna adab. Mereka yang marah pada Trans7 menuduh media tak memahami simbol-simbol pesantren. Tapi sering kali, mereka sendiri pun tak mau memahami simbol orang lain.
Sajen dianggap musyrik. Kepercayaan adat disebut kafir. Hutan adat yang suci bagi penganutnya diterabas demi pembukaan lahan tambang yang pesantren juga memiliki jatah kepemilikan. Sementara ketika orang luar menilai tradisi pesantren, mereka dituduh kurang ajar.
Padahal ini bukan semata soal benar atau salah, tapi soal makna. Yang satu melihat dari luar, yang lain merasa dari dalam. Dan di antara keduanya, tafsir bisa berbenturan, seperti dua bayangan yang tak saling mengenali asal cahaya.
Masalahnya, sebagian dunia pesantren belum siap hidup dalam ruang keterbukaan. Kritik dianggap ancaman, bukan ajakan berpikir.
Padahal, dalam sejarahnya, Islam tumbuh karena perdebatan, bukan karena keseragaman. Imam-imam besar justru melahirkan pemikiran karena mereka berani berbeda.
Tapi kini, perbedaan dianggap gangguan terhadap ketenangan. Dan dalam ketenangan itu, pesantren perlahan kehilangan vitalitasnya.
Maka kritik terhadap Trans7, betapapun emosional, seharusnya dibaca sebagai cermin. Ia memperlihatkan bahwa pesantren butuh pembenahan, bukan hanya pada citra, tapi pada tubuhnya sendiri. Pada sistem, pada struktur, pada cara berpikir.
*4/*
Mungkin kita memang perlu mengingat kembali apa itu adab. Bahwa pemaknaan terhadap istilah ini sangat elastis. Ia tak hanya merujuk pada sikap menunduk di depan kiai, atau memberi bingkisan pada guru. Adab adalah kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya: kiai pada posisi manusia, santri pada posisi manusia, dan kritik pada posisi kewajaran.
Karena tanpa itu, adab justru kehilangan esensinya: menjadi tameng untuk melindungi yang tak mau dikritik.
Trans7 mungkin salah dalam bingkai tayangan. Tapi kesalahan itu tak lebih besar dari keengganan kita untuk bercermin.
Dan ketika sebuah lembaga pendidikan tak lagi mau melihat dirinya sendiri, maka yang mati bukan hanya ilmu, tapi juga adab yang sesungguhnya.
Sebab adab tanpa kesadaran hanyalah bentuk lain dari ketidaktahuan, yang dibungkus rapi dengan kesopanan.

Post a Comment