Andai Ia Tak Pernah Mencintai CA

Table of Contents

 

Diolah dikit oleh AI Gemini dan AI Nol

***

IA HANYA PENYAIR KOSAN. ATAU KU SEBUT JUGA PENYAIR JUMATAN. AKU NYARIS LUPA TENTANGNYA SAMPAI IA MENGIRIMKAN SEBARIS KALIMAT: BUNG, TULISLAH KISAH CINTAKU DARI SUDUT PANDANGMU. 

Maka cerita mengalir dengan aku sebagai narator yang banyak bicara, dan sok tahu.

I

Di gedung Psikologi yang berdiri dengan empat lantai di pinggir Jalan Kertamukti, ia pernah berjanji untuk meneriakkan nama CA. Kabar itu heboh dan tenggelam begitu saja. Tak ada kejelasan apakah ia jadi berteriak atau tidak. Dan bagaimana mulanya ia menyukai perempuan itu, memang terlampau penuh kejanggalan-kejanggalan. Tapi betapa pun akhirnya, mencintai seseorang membuatnya tenggelam dalam puisi-puisi yang ia kirim tiap hari Jumat ke koran Kompas dan berharap dimuat pada hari Minggu, meski kenyataan ia hanya kembali dengan sekian kekecewaan. Dan begitulah ia menjalani semua itu selama empat tahun.

Perempuan bernama CA adalah seorang mahasiswi. Ia lebih tinggi dari lelaki penyair itu. Berkulit putih. Seperti ia pernah lukiskan dalam puisinya: Siapakah perempuan seputih susu itu? Dengan garis melengkung indah di pipinya saat ia tersenyum.

Ada tahi lalat di dekat bibirnya. Itu baginya kian menambah lukisan pada puisinya: Tahi lalat itu adalah titik pada keseluruhan manis wajahnya. Ia memang manis, sumpah mati aku pun berani bertaruh. 

Tapi kisah ini memang sejak awal ku sebut penuh ketakberesan. Jika aku berdebat dengannya, dia akan menyitir berbagai bualan: “bung, ini cinta. Kau berharap logika macam apa pada keajaiban bernama cinta? Aku lebih baik tak membantah. 

Apa yang kusebut tak beres adalah bahwa tak ada sesuatu yang dikatakan perjumpaan yang intens, tak ada saling tatapan, tak ada obrolan yang mengarah pada isyarat-isyarat cinta yang berlangsung dalam sunyi antara mereka berdua. Kelak kemudian hari, saat ia menceritakannya dengan penuh tawa dan sudah terbebas dari belenggu 'mencintai', ia akui bahwa itu sulit untuk dikatakan 'cinta'.

II

Segalanya berlangsung begitu cepat. Aku mengadakan sebuah acara di kampus satu, di sebuah ruangan di bawah Masjid. H, si penyair jumatan, mengisi membaca puisi. Ia tampil menakjubkan hari itu. Ia berteriak dari belakang, berjalan melewati lorong tengah jajaran kursi yang diduduki hadirin. Ia membacakan bait-bait puisi dengan begitu lantang. Aku - yang hanya melihatnya dari permukaan saja tanpa berusaha menyerap isinya - tak dapat melihat dirinya selain seperti orang gila. Dan bila ku ingat itu, aku bisa mengulang tawaku dengan mungkin mendekati ketepatan perasaan waktu itu.

Ia terus bergerak maju hingga berdiri di panggung acara.

Saat itu, di panggung itulah, CA berdiri sebagai pembawa acara. Maka sepanjang acara, perempuan itu jadi pusat perhatian. Di ujung pembacaan puisi, tampaknya mereka sempat berdiri dalam satu jarak dekat sekali meski tak ada kata-kata yang saling menghubungkan mereka kecuali ucapan terima kasih formal dari CA kepada H.

"Pembacaan puisi yang luar biasa, begitu berkesan dan kita semua dibuat tenggelam dalam bait-bait yang indah. Terima kasih kepada Kakak H, terima kasih untuk keindahan puisinya dan kelantangan suaranya, tepuk tangan untuknya," puji CA yang disambut tepuk tangan hadirin.

Lantas pujian itu kah yang membuat H tak dapat lupa pada CA?

Hari berlalu, tapi H seperti berdiri selamanya di panggung itu. Ia memendam sesuatu dalam hatinya tentang apa yang terjadi hari itu. Apa yang sebenarnya ia pendam, baru aku mengerti pada suatu malam, saat aku tak dapat menahan diri dari kantuk. Saat itu, memang sudah larut malam. Tapi ia tak bisa tidur, kenangnya kelak kemudian hari. Sehingga ia memaksaku bangun, menemaninya. Ia bersusah payah membuatkan aku kopi. Aku paksakan beberapa sesap, dan rasanya kantukku sedikit berkurang.

"Apa kabar CA, bung?"

Hah??

III

Dengan berbagai cara, ia memang akhirnya bisa lebih intens melihat perempuan itu dari jarak dekat. Dipilihlah pelataran kampus FISIP, yang di seberang jalannya berdiri kampus Psikologi. Di sana, para mahasiswa duduk santai. Apalagi saat itu, tak ada peraturan yang terlampau ketat. Tak ada larangan merokok, minum kopi, atau berkumpul di sana. Di tempat itu, H menghabiskan berbatang-batang rokok dan bergelas-gelas kopi. 

Ia akhirnya banyak tahu tentang CA: jadwal kuliahnya, di mana ia berkumpul saat jam istirahat. Ia tahu di pintu mana CA biasa masuk, menaiki tangga ketimbang lift, kecuali saat situasi ia terlambat. Maka saat CA datang, ia siagakan pandangannya pada pintu kaca depan, pada tangga yang meliuk-liuk mengantarkan CA ke lantai 2,3,4 dan seterusnya hingga hilang ke kelas. Momen itu diabadikan olehnya lewat bait-bait puisi:

Aku menandai tiap detik kedatangannya

Ia alarm dalam detak jantungku

Tiap kali ia menjejakkan kakinya

Oh, waktu.. jangan kau menipuku.

Bait lain:

Kau pasti tak percaya, undakan-undakan itu emas..

Siapa mau membantahku?

Aku tertawa tiap kali membaca puisi-puisinya. Bagiku itu tak lebih dari bualan seorang yang kasmaran. Menanggapi reaksiku atas puisinya, ia membalas dengan tajam: kau tak mengerti cinta bung! Hatimu terlampau kering.

Momen kedatangan CA hingga hilang ke dalam kelas memang singkat. Tak lebih dari 5 menit. Tapi bagi H, 5 menit itu meski terlampau cepat, tapi tak sia-sia.

Tiap jejaknya tak meninggalkan kesia-siaan.

Tiap waktu berlalu, ingin aku mengulanginya.

Meski begitu, H ingin segalanya berjalan lebih lambat. Andai ia memiliki kemampuan membuat waktu bergerak lamban, ia ingin CA berjalan lebih lambat supaya ia bisa lebih berlama-lama menatap perempuan yang ia sebut: anugerah dari surga. 

Tapi itu mustahil, H menyadari itu. Maka ia hanya menyandarkan pada belas kasih harapan akan keberuntungan: semoga hari ini - juga hari-hari yang lain - CA tak terburu-buru, semoga CA berjalan pelan, santai dan sambil bercengkerama dengan kawannya sepanjang undakan. 

Dan memang CA berkali-kali seperti itu.

IV

Semula hal itu sudah cukup. Tapi makin hari, ia makin menginginkan lebih. Ia ingin agar CA lebih pelan menuju kelasnya. Ia harus lebih banyak berhenti. Boleh di tangga, boleh pada saat mau menghilang ke kelas. Dan ia berharap CA selalu menatap ke arah pelataran, sehingga ia bisa melihat wajahnya dari depan. Yang seperti itu masih dimungkinkan. Tentu tak setiap hari, tapi cukup membantu. 

Akhirnya aku mendapati tugas berpura-pura memanggil CA dari pelataran. Ia akan menoleh kepadaku. Aku memintanya menunggu di situ, dan itu sebabnya CA terus menatap ke arah pelataran sehingga H dapat mengintip wajahnya.

Pada saat yang lain, aku akan mengajak CA untuk ngopi di pelataran. Ia memang tak suka ngopi, tapi ia mau aja duduk melepas penat di sana. 

"Di kelas terus juga bosan,” katanya. “Lagi pula kalau di sini, kan kita bisa diskusi dengan senior”. 

Pada mulanya H cukup senang dengan begitu saja. Tapi lama kelamaan, ia tak ingin hanya diam. Ia ingin tampil juga di dalam tongkrongan aku dan CA. Dia ambil alih posisiku sebagai orang yang mengerti materi jurusanku. Maka H belajar padaku tentang materi kelas CA. Ia abaikan sementara bacaan puisinya. Ia pelajari buku-buku jurusanku. Aku pinjamkan ia buku-buku dari perpustakaan. Ia baca tiap hari dan malam. Ia ajak aku berdiskusi untuk hal-hal yang tak ia mengerti. Sesekali aku lemparkan candaan: "kau salah jurusan, kawan."

Ia hanya tertawa. "Ini demi cinta bung."

Trik itu memang jitu. Alhasil, dalam tongkrongan kita (CA kadang mengajak temennya juga), H makin sering ikut terlibat. Ia kadang mengoreksi beberapa pembacaan CA yang kurang, atau sebaliknya CA mendebat H. Singkatnya, mereka terlibat suatu diskusi. Semakin menariklah tongkrongan ini.

V

Apa yang mungkin tak dipersiapkan H adalah situasi (mungkin ku sebut saja fakta) bahwa sejak awal, relasi CA dan H sekadar untuk pertemanan belaka. Jika CA begitu mengimpikan suatu jalan cerita persahabatan yang oleh H akan dibelokkan pada titik hubungan kekasih, itu terlampau khayali. Itu lantaran si H nampaknya dibuai oleh kisah-kisah cinta, puisi-puisi, dan keajaiban hubungan cinta yang ia baca. Dan nampaknya situasi yang diharapkan H tak terjadi. 

Tanda-tanda mulai terasa saat H sering duduk di loteng. Seperti orang bingung, ia sering duduk sendiri dengan berbotol-botol Teh Pucuk. Pandangannya kosong. Aku berpura-pura tak menyadari perubahan itu. Padahal aku sudah membaca puisi-puisinya yang rasanya tengah mengalami perubahan nuansa.

Ia menulis:

Betapa sombongnya dirimu

Bumi yang dipijaki dirimu berbisik kepadaku

Betapa sombongnya dirimu.

Kali lain:

Aku bisa menaklukkan hatimu

Tapi apa guna?

Pergi, pergi saja

Ia mulai aktif turun jalan untuk demonstrasi berbagai kebijakan pemerintah. Dan puisi-puisinya berubah jadi terasa lebih garang, lebih tajam, menyoal berbagai isu sosial.

Siapa menembakkan gas air mata?

Pengecut itu tak punya nyali

Sini, dada kami siap terima tembakan kalian

Dalam suatu demonstrasi besar, ia berdiri di baris depan. Dari cerita yang beredar, ia memprovokasi dan bahkan bertingkah konyol menantang tinju salah seorang polisi yang berhadap-hadapan dengannya.

Demonstrasi berujung ricuh, dan ia tertangkap.

Pada saat demonstran-demonstran lain sudah dilepaskan, ia memilih berdiam di penjara. Aku tak percaya bahwa H betah di penjara sampai sebuah surat datang kepadaku:

“Bung, aku sudah berhenti menulis puisi pada detik saat dia menyebut ku hanya buang-buang waktu dengan kata-kata. Baginya, semua itu tak ada guna.”

Sejak itu, aku tak mendengar lagi kabarnya: ia raib bersama puisi-puisinya yang pernah punya daya sebelum akhirnya tersungkur kecewa. 


Cimahi, 5 Oktober 2025



Post a Comment