Aroma Dini Hari

Gambar diolah oleh AI Nol dan AI Gemini
Tak banyak yang aku ingat tentang kampungku, selain apa yang tertinggal di masa lalu. Sejak merantau jauh, aku jadi jarang pulang. Meski pulang sebentar, aku bisa mengingat terutama pada momen-momen dini hari saat aroma tembakau singgah di tidurku. Rasanya aku setengah sadar, karena aku bisa mendengar deru mobil - rasanya itu mobil pick up pengangkut tembakau - yang berhenti di halaman. Diiringi pintu terbuka, dan sahut-sahut obrolan - mungkin - dua orang yang segera disusul dengan aktivitas lain. Terdengar dari suara langkah kakinya, lalu suara gedebuk, mungkin mereka sedang mengangkut dan menurunkan beban berat.
Suara itu terdengar dari ruang tamu, yang lalu aku tahu telah disulap sebagai tempat tumpukan kardus-kardus besar rokok batangan yang belum dikemas dalam bungkusan kecil. Tak lama, sekitar 10-20 menit, mobil itu menyala lagi, diikuti suara pintu mobil ditutup, deru mesin tarikan gas, melaju dan suara yang tersisa di udara makin mengecil hingga hilang kembali digantikan kesunyian dini hari.
Ketika suasana kembali sunyi, ada yang tetap tertinggal di sana: aroma yang mungkin berasal dari batang-batang rokok di kardus besar itu, seperti melayang-layang memenuhi seluruh ruang di rumahku.
Kesunyian dini hari itu tak lama. Sebab kemudian terdengar azan subuh dari pengeras suara masjid yang tak jauh dari rumah. Disusul suara langkah kaki - yang kali ini makin banyak, percikan air dari kamar mandi untuk tamu, dan suara orang shalat di musholla. Menit-menit berikutnya, suara langkah kaki itu berpindah ke dalam rumah, berpindah-pindah dari ruang tempat tumpukan rokok dan berakhir di ruang lain, yang segera disusul suara sahut-sahutan obrolan, candaan dan tawa. Mereka tampaknya mulai bekerja.
"Mereka selalu datang subuh?", tanyaku suatu kali pada bapak.
"Ya tergantung kapan rokok batangan yang siap dikemas itu datang," jawabnya.
Pagi-pagi, bapak sudah duduk dengan kelengkapan alat tempurnya di beranda rumah: kopi hitam dan rokok rumahan. Meski berkali-kali dihajar penyakit, ia tetap tak mau berhenti merokok. Rasanya perdebatan apapun tak akan membuatnya berpisah dari rokok. Ia seperti orang lain saat tak ada rokok di tangannya; saat ia tak mengepulkan sesuatu dari mulutnya.
"Semangat sekali mereka, pak," ucapku takjub.
Aku teringat orang-orang pinggiran Jakarta yang tiap pagi sudah memenuhi KRL dari ujung Bekasi, ujung Bogor, Tangerang ke Jakarta. Mereka seperti semut yang tertarik gula di beberapa titik di Jakarta. Ternyata di sini, aku juga menyaksikan hal yang sama: kerja keras. Orang-orang berdatangan sejak dari subuh untuk merebut rejekinya.
Bedanya, di Jakarta, orang-orang seperti bergelut di peron-peron antrian, dan melanjutkan gelutnya untuk mendapat tempat di tiap gerbong. Dapat tempat duduk adalah sebuah kemewahan. Jika tidak, berdiri dengan tangan berpegangan pada pegangan khusus yang tergantung di langit-langit tiap gerbong. Sementara pemandangan di kampung, orang-orang datang berjalan kaki, melewati jalan-jalan setapak kampung yang di kanan kirinya dipenuhi pepohonan, di antara desir udara subuh.
"Woy, kok datang telat," teriak salah seorang saat pasangan suami-istri muda muncul dari balik pintu.
"Biasa ada aktivitas malam, jadi bangun kesiangan," jawab pasangan itu asal yang sontak disusul tawa dan candaan dari pekerja lainnya.
Mereka tak berhenti bercanda satu sama lain. Seakan mulut mereka tak bisa dibungkam meski mata dan pikiran mereka harus fokus membimbing kelincahan tangan mereka dalam kerja manual: memasukkan rokok-rokok batangan ke dalam kemasan. Mungkin itu cara mereka mengalihkan beban kerja.
"Mereka kerjanya berkelompok. Gajinya dihitung berdasarkan target yang dicapai tiap kelompok. Mereka dibayar tiap minggu," kata bapak.
Kulihat saat matahari sudah mulai merangkak naik, ada lagi yang datang dan langsung masuk ke kelompok-kelompok yang ada.
"Kalau ada yang datang belakangan, biasanya karena masih ada urusan lain-lain, mungkin semacam bagi tugas urus dapur, mandiin anaknya, dan anter ke sekolah."
Seorang perempuan baru datang bersama anaknya berseragam SD. Ada pula yang berseragam TK. Ia tak langsung masuk ke ruang kerja. Ia membuka perbekalan, menyuapi anaknya, dan menyimpan sisanya. Seorang lelaki muncul dari dalam. Mungkin suaminya. Ia segera menyambut perbekalan istrinya.
"Aku makan dulu yaaa," teriaknya ke yang lain.
Sebuah motor membawa sayur melipir ke halaman. Pekerja ibu-ibu berhenti sejenak untuk rebutan sayur yang masih segar. Seorang pedagang pentol juga ikut melipir yang segera menarik perhatian anak-anak yang segera berlarian menyerbunya. Inilah pemandangan tiap hari yang tersaji di halaman kecil rumahku. Sudah seperti pasar kaget.
“Siapa bilang orang kampung pemalas?” kata bapakku tiba-tiba.
“Sejak dulu, kita bekerja keras. Tembakau itu jadi salah satu yang sangat diharapkan."
Aku masih ingat dulu aku juga ikut ke ladang saat musim tanam tembakau. Kami menamai 'belta' untuk bibit tembakau itu. Kami sirami, kami rawat tiap hari. Hingga pada saatnya, daun itu layak dipetik, disimpan di tempat khusus. Dua atau tiga hari setelah dirasakan layak, daun-daun itu dirajang. Kami menamainya 'pasat' dengan alat khusus. Tak ada mesin untuk merajang, melainkan alat tradisional. Hasil rajang itu dikeringkan di bawah sinar matahari. Waktu itu, kami masih seperti diikat oleh semacam solidaritas yang kuat. Tanpa dibayar, cukup dikasih makan.
Tapi seringkali, pabrik saat itu bertindak semau sendiri menetapkan harga. Seringkali tembakau kami diberi harga 'hancur'. Sehingga seluruh proses kerja keras itu bukan hanya menghasilkan keletihan, tapi biaya operasional kami habis tak terganti. Pada akhirnya, karena tak banyak pabrik saat itu, ketimbang tembakau menganggur, petani memilih menjualnya, berapa pun harga akhirnya.
Hari ini, pabrik-pabrik rokok lokal bermunculan, saling bersaing. Harga dari petani makin kompetitif. Selain itu, mereka juga dapat kerjaan dari menjadi buruh di rokok-rokok rumahan seperti ini. Terlihat wajah sumringah dari mereka tiap minggu saat jadwal gajian.
Aku menghela nafas senang mendengar semua itu. Tapi tiba-tiba aku digelayuti rasa sedih. Hingga detik ini, pulau penghasil rokok ini masih disemati label buruk: Madura penghasil rokok ilegal. Cap ini begitu kuat, dan seperti menjadi rahasia umum. Distribusinya diawasi, diburu. Sampai kapan cap itu berakhir?
Di tempat jauh, dekat ibu kota, aku mendapat kabar bahwa sebuah komunitas tengah bergerak membawa isu keadilan struktural untuk kesejahteraan petani tembakau Madura. Mereka membawa misi supaya pemerintah pusat lebih peduli lagi pada soal kesejahteraan petani tembakau Madura. Mereka bergerak dengan membawa narasi yang kuat secara intelektual, berbasis data tentang kontribusi rokok Madura pada negara dan soal ketidakadilan struktural pada petani tembakau di Madura.
Aku mengamati diam-diam pergerakan itu. Mereka mengembangkan wacana lewat tulisan di website, film pendek tentang Madura di youtube, perwakilannya berbicara di podcast-podcast, dan mereka bukan sekadar sekumpulan mahasiswa, melainkan orang-orang dengan latar belakang aneka ragam profesi. Ada pejabat, mantan pejabat, pengusaha, pengamat politik, akademisi, penulis dan mahasiswa. Mereka punya koneksi dengan berbagai komunitas dan pemerintah lokal, dan nasional. Juga kolega-kolega yang siap menyuarakan. Dan yang aku suka: mereka tidak mau bergerak frontal. Mereka mengedepankan diskusi akademik untuk mendorong 'goal' kebijakan yang lebih berpihak ke petani Madura.
Ah aroma itu datang lagi. Ini sudah kesekian kali. Hidungku sudah terbiasa dengan aroma itu. Juga telingaku sudah terbiasa dengan keramaian canda tawa di ruang tempat orang-orang bekerja memasukkan batang-batang rokok ke dalam kemasan. Aku ingin tidur, dan membiarkan suara-suara itu menyelinap ke dalam mimpiku. Jika aku boleh meminta, aku ingin bermimpi aroma dini hari itu tetap abadi, juga tawa kebahagiaan mereka jangan dirampas. Biarkan mereka merebut rejekinya dari tembakaunya yang di tanam di tanah sendiri. Biarkan mereka tersenyum tiap minggu dengan gajian dan harapan yang mungkin diam-diam mereka ukir demi masa depan.
Di pinggir Jalan Gempol Sari, seberang Buana, 15 Oktober 2024
Post a Comment