Kronik Petaka
![]() |
| Diolah oleh Rohim |
Kupersembahkan kisah ini kepada kawan yang pernah diseret polisi karena tuduhan keterlibatan kasus kriminal internasional yang tak terbukti dan akhirnya dilepaskan begitu saja.
I
Seekor cicak berwarna putih abu-abu, dengan totol-totol hitam, melenggak-lenggokkan ekornya. Ia menempel pada kayu atap rumah. Aku duduk di bawahnya. Ia tepat di atasku. Itu baru aku sadari saat sebuah benda setengah padat setengah cair jatuh persis di selangkanganku. Kau pasti tak ingin bertanya apa itu? Aromanya kayak apa? Tapi aku - sumpah mati kesalnya - pasti membagikan kisah ini.
Pertama-tama, itu tahinya. Pasti tahi cicak itu yang melayang-layang malas dan mendarat di celanaku. Tidak ada cicak lain. Di mataku, seekor cicak di mana pun, menjijikkan. Dan cicak ini, yang aku yakin telah membuang tahinya sembarangan, pastilah cicak paling menjijikkan. Terkutuk kau, cicak!
Aku tidak sedang mimpi, tak sedang mengada-ada: peristiwa ini terjadi betulan. Andai aku bawa buku catatan, maka aku tulis di situ: menjelang siang di hari Rabu, 30 Oktober 2024.
Saat itu, aku tengah santai menikmati sedikit waktu di sela kerja. Memang saat itu bukan waktunya istirahat. Tapi tak ada hak buat cicak untuk mengusirku dengan taiknya. Bosku juga tak akan sebiadab itu mengganggu anak buahnya yang sedang santai.
Lantaran cicak itu bukan bosku, maka tak bisa tidak, tumpahlah seluruh amarahku padanya. Kampret kau, cicak! Tak bermoral kau! Tapi dasar cicak bodoh, bukannya malu, malah dia lagi-lagi melenggak-lenggok dan kabur begitu saja.
Cicak itu pasti kuingat. Lantaran beberapa waktu ke depan, serentetan peristiwa buruk susul-menyusul.
II
Bos datang. Seperti biasa, dia melaju ke ruangannya dengan tanpa minat memeriksa apakah karyawannya lengkap, tidak masuk, atau datang terlambat. Semuanya sama saja, asal kerjaan beres.
Ia masuk dan beberapa aksi susulannya bisa ditebak: dia akan meletakkan tasnya, atur duduk yang nyaman, keluarkan hape, lalu mata dan jempolnya sibuk 'berperang' di dunia game.
Ah, tapi aku tak yakin. Apakah ini hanyalah khayalanku saja? Jangan-jangan bos sudah di ruangan itu sejak tadi?
Ah, persetan apakah dia baru datang atau sudah lama di ruangan.
Tiba-tiba ia memanggilku dan beberapa karyawan lainnya. Ia bicarakan banyak hal dan satu di antaranya membebaniku: 'mengistirahatkan' sejumlah SDM.
"Tugas bung ya untuk menyampaikan," katanya.
Aku hanya punya satu kata template ala dunia militer: siap!
Sorenya, dengan berat hati aku sampaikan kepada mereka yang masuk daftar SDM yang perlu istirahat. Dan jelas saja, kata itu jauh dari kesan menyenangkan. Apa artinya kata istirahat kerja bagi mereka yang membutuhkan uang dan pekerjaan?
Tapi apa daya. Bis dan uang adalah segalanya.
Tugas itu rampung. Dalam beberapa saat, aku tak bisa menatap wajah mereka. Perasaan tidak enak, kasihan, bercampur-campur. Beruntung suasana sore itu bisa sedikit ternetralisir lantaran beberapa kawan lain ikut nimbrung di situ.
Persis keesokan harinya, kantor lebih sepi dari biasanya. Itulah dampak dari pengistirahatan.
Tapi itu tak seberapa di banding peristiwa lain yang lebih mencekam, tengah menunggu giliran.
III
Jam 3 dini hari. 31 Oktober 2024. Gawaiku dan gawai istriku berdering berkali-kali, secara bergantian. Sudah pasti itu cuma perkiraanku. Persisnya sekeras apa bunyinya, gawai siapa duluan berbunyi, aku tak tahu. Atau boleh jadi aku lupa mengaktifkan mode silent atau sekadar getar sehingga aku sama sekali tak mendengar ada panggilan masuk. Jam 4 subuh akhirnya aku terbangun.
Kuintip layar gawaiku lewat mata yang masih lelah. Ada notifikasi telpon dari H dan nomor baru, tak dikenal - kemudian aku tahu itu dari R. Tak lama si H telpon lagi.
Soal serius rupanya.
Jam lima pagi, aku sampai di kantor. Di ruang kerja, kudapati tiga orang dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kantuk sekaligus panik tengah duduk. A.S.-A.R.-W. Semuanya sudah tahu persis peristiwanya. Tapi tak ada yang tahu apa nasib beberapa waktu ke depan yang akan menimpa kawan kita.
"Dia dibawa paksa."
"Dia sempat melawan."
"Dia digebuki, diseret."
"Aku nyaris teriak."
"Aku nyaris dibawa."
"Hapeku dibawa."
"Badannya gede-gede."
"Mereka bilang penipuan."
Penipuan.
Penipuan apa? Siapa yang ditipu?
Di otakku, semua kata itu timbul tenggelam, berputar-putar. Bagaimana menafsirkan potongan fakta-fakta itu? Aku belum menemukan titik terang tentang apa yang terjadi.
Pagi itu, tiga kepala - empat dengan kepalaku - di kantor itu tak bisa berpikir dengan baik. Tentang apa di depan nanti yang akan menimpa dia, belum terpikirkan secara jelas oleh kami. Inilah gambaran orang-orang tanpa kekuasaan, atau tanpa jaringan orang-orang penting dan berduit. Sehingga menghadapi masalah seakan dengan cara rela pada apa kata nasib. Menunggu waktu!
Kukirimkan laporan peristiwa itu kepada bos - meskipun jauh sebelum itu, kawan H sudah menghubunginya lewat saran seorang senior bernama A.
Tak ada solusi darinya. Lebih buruk - dan sumpah mati bikin kesal - dia justru marah, merunyamkan hal lain yang bukan soal utama: pintu yang tak terkunci.
"Kalau sudah diincar, dan ketahuan titik koordinat si target, apalah arti pintu kayu di hadapan para intel?"
Tentu saja ku tahan kalimat marah itu. Ku biarkan menggantung-gantung di kepalaku. Tapi sejak itu, ku anggap keberadaannya tak penting. Jika harus laporan, itu formalitas saja.
“Ini pengalaman baru,” batinku, “aku harus mencoba sendiri sebisaku.”
Maka, aku buka komunikasi dengan siapa pun, minta saran mereka, atau minta dipertemukan dengan orang-orang yang kiranya bisa bantu.
Ada M.G. Ada A.D. Ada M.H. Ada A.N. Ujungnya E.H. Berkat saran dialah - terutama pasca pertemuan hari Kamis siang di Midpoin Tanah Abang, akhirnya aku mulai menemukan petunjuk.
IV
Jumat siang, 1 November 2024. Di Polda Metro Jaya.
Aku bersama seorang kawan, A.R., memasuki gedung besar menuju lantai 4, Resmob. Pikiran semula dipenuhi niatan untuk meminta keterangan tentang persis kasus yang menimpa kawanku. Tetapi sesampai di sana, aku kehilangan minat untuk bertanya. Di samping tak kulihat kawanku, beberapa polisi dengan badan yang gede-gede, dengan suara keras - mereka itu intel yang menangkap kawanku, kata A.R. - menyambutku. Kami mendekatinya dengan hati-hati, dan bertanya.
"Kalian belum bisa menemuinya. Titipan simpan di sini," demikian kata mereka tegas. Persis hari itu, aku merasa gagal.
"Tanyakan persis kasusnya. Tanyakan kalau bisa ke polisi yang menyidiknya. Tanyakan di unit berapa kawanmu ditahan?" kata seniorku. Tapi aku tak menanyakan itu. Belum!
Terselip pertanyaan di batok kepalaku: aku harus bertanya ke siapa? Kepada mereka yang tubuhnya gede dan melarangku masuk dengan suara yang menggelegar?
V
Aku dan kawanku turun ke bawah, keluar dari gedung itu. Pada tiap tangga yang berbelok dua atau tiga kali hingga ke lantai dasar, kepala kami dipaksa mengingat satu kata menonjol: penyidikan.
"Apa aku tak salah dengar?"
"Tak salah. Aku juga begitu mendengarnya."
Apa artinya penyidikan?
Saat itu, tak ada kekhawatiran dengan kata itu. Aku hanya mengingatnya sebagai satu pegangan bahwa kalo aku ditanya terutama oleh E.H., aku bisa langsung menjawab: proses penyidikan.
Tapi kata itu segera mencekam. Di parkiran, dua kawanku lebih junior, bernama I.H. dan H.K., yang terbiasa berurusan dengan polisi lantaran sering terlibat demonstrasi, menjelaskan kengerian kata itu.
"Gawat!!! Dia potensi jadi tersangka."
Ia berpikir cepat, memandangi gawainya, dan lalu terhubung dengan seseorang.
VI
Jam 16.00 WIB.
Kawanmu potensi terjerat. Ada keterlibatan di situ. Dan lain-lain.
Pasal 55 dan 56 KUHP.
Dan lain-lain.
Kami berdiskusi banyak hal yang lebih terasa sebagai kesia-siaan. Sebab pada akhirnya, ini soal uang. Penebusan.
"Bang, polisi tadi bilang kalau diproses secara hukum, ini berat. Sudah pasti kena. Mungkin kalau mau pendekatan kekeluargaan, nanti kau bisa menghadap polisi yang tadi dihubungi si I."
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang terbayang sebagai solusi terakhir adalah berterus terang saja soal ini ke keluarganya. Tapi siapa yang harus berkomunikasi dengan cara yang mungkin bisa menenangkan mereka. Komunikasi yang menentramkan? Caranya?
Opsi terpikir, itu harus dilakukan dengan jarak dekat.
Aku menelpon Kak I di kampung. Aku menelpon staf ahli DPR RI, bang M. Aku menelpon senior, kak E.H.
"Jangan mau membuat kesepakatan penebusan terlebih dulu. Temui kawanmu, pastikan perkara apa, dan sejauh mana terlibat. Di unit berapa?"
"Jakarta ini banyak polisi pemain."
Jual beli kasus itu hal biasa, pikiranku menimpali.
"Intel yang kau hubungi itu pemain. Kalo misal sebenarnya bisa ditebus 5 ribu, dia akan minta 20 ribu."
Benar-benar hukum jadi pertukaran ekonomi.
"Apapun yang terjadi nanti, kita atur solusinya pasca tahu persis perkaranya. Di sini ada bang X."
Aku tak sendiri. Orang-orang bisa dimintai bantuan.
"Kalau situasinya sudah kepalang begini, santai saja. Jangan buru-buru."
Kusimpan semua saran senior. Semua itu memberiku titik terang dan ketenangan dalam menghadapi situasi yang masih belum pasti.
Soal yang bikin aku sedikit khawatir: bagaimana jika keluarganya mulai gelisah lantaran dia tak jua bisa ditelpon?
VII
Aku punya waktu hari Senin, 4 November 2024. Itu waktu yang dijadwalkan berjumpa kawan yang tertangkap. Sudah kusiapkan seluruh amunisi pertanyaan. Tak kan kusia-siakan lagi kesempatan yang ada. Aku harus bertemu dengannya. Bertemu penyidiknya. Unit berapa?
Soal tebusan. Tenang! Jangan gegabah, pikirkan nanti! Jalan keluarnya sudah terbayangkan. Pokoknya sekarang...
"Kawan, aku sudah bebas," suara kawanku dari telpon.
Dadakan!!
Tak mungkin. Itulah respon pikiranku. Tapi aku tak mungkin mengacaukan selebrasi kebahagiaannya.
Sepanjang jalan ke Polda Metro Jaya untuk menjemputnya, pikiranku dihantui oleh pasal 55 dan 56. Tak mungkin dia lepas begitu saja.
"Aku murni korban, bukan pelaku."
Tapi kan...
Motorku dua kali mengelilingi Polda. Pintu yang tadi siang aku lewati sudah dikunci. Pada putaran kedua, aku baru menyadari bahwa ada pintu lain yang terbuka.
"Naik saja ke ruang yang tadi."
Nah kan belum bebas. Pasti masih ada proses-proses lain. Kecurigaan ini masih terus menggelayutiku hingga akhirnya segalanya mulai terang dan tenang begitu aku masuk ke unit 2, tempat di mana ia - dan kawan serta ceweknya - diinterogasi.
Dia bebas. Ya, tak diragukan lagi. Gawai R. yang ditahan polisi berdering. Dari ayahnya! Keluarganya! F segera menerima panggilan itu.
Sejak itu, aku tak perlu panik lagi dengan pertanyaan: Bagaimana kalau keluarganya menelponnya?
Tanjakan Bukit Duri, 6 November 2024

Post a Comment