Omon-omon Warung Madura
![]() |
| Gambar dari AI dan dipoles tipis-tipis oleh Coing |
**
Siang di warkop depan Aula Insan Cita (AIC) yang sialnya, aku lupa nama warkop itu, maka tak ku tulis di sini. Saat itu, kami bersama O, R, dan beberapa menit bergabung juga si D, berdiskusi beberapa hal tentang Warung Madura.
Pertama, mengapa pelaku warung sembako Madura biasa mengambil 10 persen dari omzet harian untuk disimpan? Mengapa bukan 20 persen atau 50 persen sekalian? Kedua, apa patokan untuk melihat bahwa warung sembako menunjukkan progres yang baik?
R sering jadi buruh toko sembako 24 jam, tapi ia tak bisa menjawab soal pertama ini. Pasalnya, selama dirinya jadi buruh jaga toko sembako, ia tak tahu-menahu soal cara penghitungan laporan dan kalkulasi keuntungan dari tiap-tiap barang. Ia, katanya, cuma memastikan mata terus melek supaya bisa melayani pembeli.
O yang baru nongol lagi ke warkop setelah sempat sibuk dengan urusan fotokopi skripsi istrinya (lebih tepat: calon istrinya) datang dengan spekulasi yang masuk akal: 10 persen itu angka rata-rata yang diambil dari persentase keuntungan yang dipatokkan pada tiap barang di toko itu..Jadi, asumsinya, kata O, penjual mematok untung rata-rata 10 persen pada barang apa pun di toko. Ia menambahkan asumsi lain: angka 10 persen itu standar terkecil untuk mematok keuntungan. Dengan asumsi ini, maka pelaku sembako hanya mengambil 10 persen dari omzet harian.
*
Soal ini kemudian sedikit banyak terpecahkan dalam diskusi dengan AD, pemilik empat toko sembako yang tersebar di beberapa titik.
Pertama, angka 10 persen itu bukan standar terkecil pada margin keuntungan tiap item jualan di toko. Itu hanya angka rata-rata yang diambil oleh pelaku usaha toko sembako (untuk disisihkan sebagai keuntungan) dari total omzet harian. Angka itu dianggap paling aman bagi omzet toko yang masih rendah — katakanlah di bawah 5 juta per hari. Pada omzet di atas 5 juta, bisa diambil 20 persen. Namun hal ini sangat variatif, tergantung tiap pelaku usaha sembako.
Yang pasti, nyaris tak ada yang berani mengambil 50 persen sebagai keuntungan dari omzet harian.
Kedua, margin keuntungan tiap barang sangat variatif. Bahkan pada beberapa item, margin keuntungannya bisa di bawah 10 persen.
Lalu mengapa pelaku toko berani mengambil 10 persen dari total omzet? Karena pada beberapa barang lain, margin keuntungannya bisa di atas 50 persen, bahkan ada yang lebih dari 100 persen.
Di beberapa tempat, margin keuntungan item bisa sangat tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lokasi, daya beli, dan lain-lain. Misalnya, di lokasi-lokasi yang pembelinya kebanyakan bukan penduduk yang menetap sekitar, melainkan orang jauh yang kebetulan beli di sana, maka harga bisa lebih mahal dari biasanya. Sedangkan untuk toko dengan kebanyakan pembeli warga sekitar, harga lebih ditekan, tidak ambil keuntungan besar.
Barang-barang yang laku juga bervariasi di tiap tempat. Dalam cerita Y, pemilik warung di wilayah P (dan terbaru kabarnya ia buka cabang baru di tempat lain) yang paling banyak laku adalah bensin, air, dan rokok. Sementara beras justru lama terjual.
**
Menyelip di antara diskusi poin pertama adalah bagaimana mereka melakukan audit barang-barang di toko, dan terutama seberapa sering? Pada toko sembako Madura, audit dilakukan kurang lebih pada beberapa kesempatan. Pertama, pada hari pembukaan. Kedua, saat mau ganti penjaga atau warung mau dijual, dan ketiga, ini dilakukan oleh beberapa toko tidak semua toko, dilakukan audit per tiga bulan.
Nampaknya tidak ada audit barang per hari. Alasannya sederhana: pengerjaan audit toko sembako dilakukan secara manual dan memakan waktu lama. Karena itu, audit harian jarang dilakukan. Bahkan audit tiga bulan sekali pun, tidak semua toko melaksanakannya.
Karena tak ada audit harian yang intens, sangat sulit mengawasi pergerakan dan aliran barang secara akurat. Jika ada satu atau dua item hilang, sulit diidentifikasi. Dalam hal ini, insting pemilik toko menjadi sangat penting untuk memantau stok. Selain itu, berlaku asas trust — saling percaya antara pemodal/pemilik dan karyawan.
***
Pelaku toko menggunakan beberapa indikator untuk menilai apakah toko sembako berjalan “bagus” atau menunjukkan perkembangan.
Pertama, dari pencapaian omzet harian. Mereka mencatat total omzet harian secara manual di buku. Catatan ini menjadi acuan utama untuk menilai progres toko. Kelak, jika toko itu akan dijual, catatan omzet harian bisa dijadikan bukti progres kepada calon pembeli. Catatan itu biasanya diverifikasi lagi lewat pemantauan langsung selama setengah bulan atau lebih sebelum keputusan pembelian dibuat. Tujuannya demi menghindari tipu-tipu, dusta, atau semacam permainan catatan omzet.
Kedua, dari jumlah dan variasi item jualan. Pelaku toko harus peka mengamati stok dan keragaman barang. Toko yang berkembang bisa juga dilihat dari bukti keberadaan barang di toko. Biasanya pemilik toko akan mengelola omzet dengan baik dan sebesar-besarnya dialokasikan untuk belanja barang, alias modal (uang) diputar terus supaya terus beranak-pinak uang yang lebih banyak. Rumus: modal dibelanjakan barang, barang dijual (laku), dapet uang untuk dijadikan modal belanja berikutnya. Teruslah begitu. Bahkan saran dari beberapa pelaku sembako, 3-4 bulan pertama, omzet toko tak usah diambil untuk disimpan, tapi belanjakan barang lagi. Aku jadi teringat cerita seorang senior yang ironisnya dulu benci betul pada kapitalisme dan menghamba pada Karl Marx dan ihwal-ihwal pemikiran kritisnya tapi kini berjuang mati-matian bergumul dengan kapitalisme: menganak-pinakkan uang lewat usaha.
Ceritanya begini: ia memulai usaha dengan mengontrak kios yang semula ditujukan untuk tempat tinggal. Dituntut pikiran tentang tagihan kontrakan dan lain-lain, ia terbimbing untuk menyulap kios itu sehingga berfungsi ganda: tempat tinggal dan tempat usaha. Ia memulai dengan modal yang begitu minim - katakanlah belasan juta. Dengan modal kecil, mau tak mau ia barang cepat habis dan ia dituntut untuk rutin belanja, meski sedikit-sedikit. Lama-lama, entah butuh waktu berapa lama - modal dari perputaran itu makin besar, belanja semakin besar dan barang-barang semakin banyak dan variatif di toko itu. Ini soal di satu sisi skill manajemen usaha, dan paling besar soal mentalitas, kesabaran, kegigihan, untuk mengelola toko.
Adakah toko yang tak berkembang? Ada. Di antaranya ditunjukkan dengan barang makin berkurang - terlihat dari etalase dan rak yang kian melompong; transaksi kian lesu dan lainnya. Soalnya apa? Mungkin ada kesalahan kelola, muncul persaingan, atau hal-hal lain. Banyak toko akhirnya dijual murah.
Selain itu, pelaku sembako juga memperhatikan barang yang laku, entah dengan menelaah struk belanjaan atau dengan melihat langsung barang di toko. Mereka biasanya menyetok lebih banyak barang yang perputarannya cepat ketimbang yang lambat. Beberapa item dibeli dalam partai besar, misal kardusan. Sedangkan yang lain dibeli dalam partai kecil seperti rencengan atau beberapa item saja. Misal pada kasus rokok, ada yang stoknya berpack-pack, ada pula yang sekadar beberapa bungkus. Dibeli untuk sekadar memenuhi etalase dan supaya variatif.
****
Kurang lebih dua jam di warung itu, dan aku harus membubarkan diri. Dalam kesempatan terbatas itu, banyak omon-omon lain yang harus ditahan.
Terima kasih.
Ciputat

Post a Comment