Jakarta Naik Flyover, Warganya Masih di Putaran U
Table of Contents
Rontalin.com - Ada satu kebanggaan baru warga Jakarta tiap kali macet: “Sekarang macetnya di atas.”
Ya, Jakarta sudah naik flyover, underpass, LRT, MRT, bahkan punya jalur sepeda yang kalau siang lebih sering dipakai tukang ojek nunggu order. Kota ini terus naik, tapi entah kenapa warganya tetap di bawah - secara sosial, finansial, bahkan kadang mental.
Saya orang Jakarta. Peneliti sosial juga. Dan saya sadar betul bahwa di kota ini, kemajuan itu sering cuma pemandangan, bukan pengalaman. Kami semua sibuk menatap pembangunan, tapi jarang punya waktu buat nanya: siapa yang sebenarnya sedang “naik”?
Lihatlah flyover baru di mana-mana. Beton menjulang, tiang pancang berdiri gagah, kayak lambang optimisme yang dipasang di tengah keputusasaan. Tapi kalau turun sedikit, di bawahnya masih ada tukang parkir yang hidup dari tips dua ribuan, ibu warung yang masih menulis utang di buku biru, dan ojol yang nunggu hujan reda biar bisa lanjut ngejar insentif.
Flyover itu seperti metafora: kota naik, tapi rakyatnya disuruh sabar di bawah. Mobilitas yang meningkat cuma kendaraan, bukan manusia.
Di laporan BPS, penduduk Jakarta katanya makin “terdidik dan produktif”. Tapi statistik itu lupa menyebut satu hal: sebagian besar dari kami produktif buat orang lain. Kami kerja di gedung tinggi yang bukan punya kami, bayar sewa di apartemen, atau KPR lahan 60 meter persegi yang cicilannya sampai pensiun, dan makan siang di food court yang harganya naik lebih cepat dari gaji. Kalau ini yang disebut urbanisasi, mungkin istilah yang lebih jujur adalah urbanisasi tanpa mobilitas—semua pindah ke kota, tapi tak ada yang benar-benar bergerak naik.
Kelas menengah Jakarta itu unik. Kami berlagak modern, tapi trauma sama parkir Rp10.000, bahkan goceng. Kami nonton konser Coldplay tapi tetap ngecek GoPay tiap akhir bulan. Kami punya AC, tapi tagihan listriknya bikin deg-degan. Kata Bourdieu, ini soal habitus—gaya hidup yang ingin meniru kelas atas tapi dengan dompet kelas pekerja. Di sini, kesenjangan bukan lagi soal kaya-miskin, tapi antara siapa yang terlihat berhasil dan siapa yang benar-benar berhasil.
Di tengah tekanan itu, ruang kota makin aneh.
Kampung lama digusur, rusun baru berdiri, tapi solidaritas sosialnya lenyap. Dulu, orang bisa nebeng beras atau saling jaga anak. Sekarang, tetangga baru kita bahkan nggak tahu kita kerja di mana. Lefebvre bilang, ruang kota itu hasil dari kekuasaan—dan di Jakarta, kekuasaan itu berbentuk tata ruang yang Instagramable.
Lihat saja fenomena kampung kejepit—perkampungan kecil yang bertahan di antara tembok apartemen dan mal, seperti sisa masa lalu yang belum sempat digusur algoritma pembangunan. Di sisi lain, muncul kota mandiri di pinggiran—tempat orang Jakarta pura-pura pindah ke “masa depan”, padahal cuma pindah KTP ke Tangerang. Satu terjepit karena terlalu dekat, satu terisolasi karena terlalu jauh. Keduanya sama-sama hasil dari kota yang tumbuh cepat tapi berpikir sempit.
Bedanya cuma lokasi: yang satu terhimpit beton, yang satu terperangkap brosur properti—dua-duanya tetap jauh dari janji kota yang katanya inklusif.
Ironisnya, semua itu dibungkus dengan narasi keren: “Jakarta menuju kota global.” Padahal yang global itu cuma harga properti. Coba tanya penghuni perumahan menengah, apakah mereka merasa “naik kelas”? Mereka mungkin akan jawab: “Naik sih, tiap bulan... naik bunga floating KPR, naik harga parkir, naik cicilan NMAX, dan kadang naik gula darah juga.”
Naik kelas? Mungkin. Tapi yang benar, mereka cuma naik beban hidup dalam kemasan lifestyle urban.
Di sisi lain, warga kampung kota yang dulu hidup di pinggir rel atau belakang pasar, kini pindah ke rusun. Katanya biar “lebih layak.” Tapi di rusun, mereka kehilangan yang paling berharga: rasa punya tetangga. Hidup jadi seperti di kotak-kotak vertikal—diatur jam menjemur, jam kumpul, bahkan jam gosip. Mobilitas vertikal itu ternyata benar-benar vertikal: naik lantai, bukan naik derajat.
Tapi jangan salah, Jakarta itu bukan cuma tentang penderitaan. Ia juga punya romantika absurd. Kita bisa stuck dua jam di Jalan Casablanca, tapi masih sempat posting story dengan caption: “Jakarta never stops.” Cuma warganya yang drop. Kita bisa kesal sama banjir, tapi juga bangga bisa kerja WFH sambil pakai rompi ojek. Jakarta memberi kita pelajaran spiritual: sabar menghadapi ketidakadilan struktural dengan humor.
Di tengah semua itu, saya sering berpikir: mungkin yang salah bukan pembangunan, tapi cara kita menilainya. Kita mengukur kemajuan lewat ketinggian gedung, bukan lewat ketenangan hidup. Kita bangga dengan MRT, tapi lupa bahwa yang duduk di dalamnya tetap orang yang sama—lelah, cemas, dan kejebak cicilan.
Maka ketika saya lihat Jakarta terus naik flyover, saya cuma bisa nyengir. Mungkin inilah kota yang berhasil “naik kelas” secara topografi, tapi gagal secara sosial. Sementara kami, warganya, masih sibuk di putaran U yang sama—muter-muter tiap hari antara rumah, kantor, dan mal. Antara harapan dan kenyataan.
Kalau benar kota ini ingin jadi “smart city”, mungkin mulailah dari hal sederhana: bukan sekadar flyover baru, tapi sense of fairness baru. Sebab percuma Jakarta naik ke langit, kalau rakyatnya masih merasa kecil di bawahnya.
Rusydan Fathy,
Warga Jakarta. Peneliti separuh Sabar.

Post a Comment