Klise Rekonsiliasi PPP Pasca Muktamar X
Rontalin.com - Konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ibarat sinetron roman picisan: tak pernah ada ujung. Partai hasil fusi beberapa partai Islam pada masa Orde Baru ini tampaknya belum cukup dewasa dalam membaca dan mengelola gejolak internal yang terjadi.
Konflik terbaru mencuat saat Muktamar X, September di Ancol, diwarnai munculnya dualisme antara kubu Mardiono dan Agus Suparmanto.
Aroma Konflik Mardiono vs Agus Suparmanto di Awal Muktamar
Ketegangan kedua kubu ini sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Muktamar X PPP digelar di Ancol. Ketegangan bermula saat kedua kubu saling adu klaim dukungan dari pemerintah, melalui tokoh-tokoh yang dianggap memiliki kedekatan dengan Presiden Prabowo Subianto.
Dr. Gun Gun Heryanto, dalam tulisannya Pertaruhan Politik PPP, menyebut konflik internal partai besar sebenarnya hal lumrah. Jika partai tersebut memiliki kelembagaan yang kuat, konflik justru bisa jadi momentum memperkokoh struktur dan soliditas partai. Sayangnya, tidak semua partai di Indonesia ‘terlembagakan’ dengan baik.
Lebih jauh, hanya sedikit partai yang memiliki sosok-sosok dengan karakter politisi-negarawan, yang mampu mencari solusi di luar kepentingan pribadi dan kelompoknya (beyond their interests). Dan sialnya, yang banyak justru adalah para “parasit politik” yang menjadikan partai sebagai sarana mencari penghidupan, mengamankan aset dan kepentingan pribadi, atau sekadar menikmati candu kekuasaan: layanan protokoler, penghormatan formal, hingga gelar dan sebutan tertentu.
Rekonsiliasi Semu
Di atas kertas kedua kubu memang telah menyatakan islah atau rekonsiliasi, ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-15.AH.11.02 Tahun 2025 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Masa Bakti 2025–2030, dengan H. Muhamad Mardiono ditetapkan sebagai Ketua Umum dan Agus Suparmanto sebagai Wakil Ketua Umum.
Namun realitas di lapangan berbicara lain. Kedua kubu tampak seperti air dan minyak, sulit menyatu. Bahkan ketegangan antara loyalis Mardiono dan Agus Suparmanto masih terasa kuat di berbagai daerah.
Padahal, seperti dikatakan oleh Mawardi, peneliti Charta Politika Indonesia, konflik antar-elite partai yang merembet hingga akar rumput (grass root) justru akan semakin memperkecil kemampuan partai dalam membangun konsolidasi dan menyiapkan diri menghadapi pemilihan umum.
Dalam kasus PPP, terasa sekali ketidakdewasaan elite dalam menyelesaikan konflik internal. PPP yang masih dipersepsikan publik sebagai partai yang didirikan oleh para kiai dan ulama Nahdlatul Ulama seharusnya menjadi teladan dalam menjaga etika politik. Karena itu, para elite diharapkan mampu menahan diri dan tidak memperuncing perpecahan yang ada.
Penyelesaian Konflik PPP
Dalam catatan sejarah politik Indonesia, konflik internal partai, baik yang bersifat ideologis maupun pragmatis selalu berangkat dari dua hal: perbedaan pendapat dan perebutan pendapatan (sumber daya ekonomi-politik), serta klaim dukungan dari kekuasaan.
Untuk itu, penguatan ideologi sebagai perekat utama antar anggota menjadi hal paling mendasar dalam penyelesaian konflik partai politik. Elite PPP harus berhenti menggiring loyalitas anggota berbasis figur atau tokoh, dan kembali menegakkan politik berbasis nilai serta ideologi.
Sebagaimana dikemukakan Thomas Carothers (2006), partai-partai di Indonesia masih sangat leader-centric, berpusat pada figur, bukan pada ide. Jika PPP ingin keluar dari lingkaran klise konflik yang berulang, maka politik nilai harus kembali menjadi fondasi, bukan sekadar alat tawar elite di meja kekuasaan.

Post a Comment