Mampukah PPP ke Senayan?
Rontalin.com - Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Masa Bakti 2025-2030, H. Muhamad Mardiono, menghadapi tantangan besar. Salah satunya, mampukah partai berlambang Ka'bah di bawah kepemimpinannya kembali ke Senayan?
Meski peluang tersebut terbuka, tapi tak mudah menjawab tantangan itu. Pasalnya, PPP dengan nahkoda baru ini masih menyimpan sejumlah persoalan yang berpotensi menghambat laju politiknya ke Senayan.
Rapuhnya Internal Partai
Kubu Mardiono-Suparmanto memang sudah menyatu dengan menerima hasil SK Menteri Hukum Nomor M.HH-15.AH.11.02 TAHUN 2025 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Masa Bakti 2025–2030, dengan H. Muhamad Mardiono sebagai Ketua Umum dan Agus Suparmanto sebagai Wakil Ketua Umum.
Namun sisa-sisa konflik yang sempat tajam di arena Muktamar X, yang diwarnai aksi lempar kursi, sindiran-sindiran tajam antar elit internal (misal Gus Romy menyebut hasil Muktamar Mardiono sebagai 'Ngamar), dan pembelahan dua kubu hingga ke grass root tak mudah terhapus. Apa yang hendak ditegaskan di sini, konsolidasi antar elit pasca konflik mesti terus diperkuat. Sebab jejak pembelahan itu yang tak terkonsolidasi dengan baik berpotensi dibajak oleh pihak-pihak tertentu.
Kerapuhan ini juga terlihat dari betapa partai ini terlihat sekali membutuhkan 'emong' atau 'bekingan' pemerintah dan lingkarannya. Misal, jauh sebelum Muktamar, elit politik baik dari kubu Mardiono maupun Supratman sama-sama seperti meminta 'restu' pemerintah atau Prabowo Subianto melalui orang-orang dekatnya: kubu Mardiono melalui Wakil Ketua DPR RI Sufmi Ahmad Dasco, sedangkan kubu Agus Suparmanto melalui Letjen TNI Glenny Kairupan, Wiranto dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Di satu sisi, pendekatan partai berlambang Ka'bah kepada penguasa ini bisa dibaca sebagai langkah 'taktis-strategis' untuk menjaga asa lolos ke Senayan pada Pemilihan Umum 2029. Tapi di sisi lain, relasi PPP pada penguasa menggambarkan relasi yang timpang: PPP sebagai pihak yang butuh perlindungan dan penguasa yang melindungi. Konsekuensinya, gerak PPP tak leluasa karena berada dalam kendali pihak eksternal bernama penguasa.
Dalam posisi tersubordinasi ini, partai hanya bisa berlagak sebagai 'badut politik' dengan mengikuti orkestra yang dimainkan penguasa. Partai tak bisa mengambil sikap kritis pada penguasa atau pemerintah. Sehingga dengan situasi ini, mungkinkah partai dengan nahkoda baru ini masih bisa menjadi kendaraan politik mewakili kepentingan publik?
Wacana Penggembosan
Kondisi PPP yang ada dalam kendali penguasa bisa menjadi 'senjata' bagi pihak-pihak tertentu untuk menggembosinya. Wacana penggembosan bisa 'terkemas' dalam narasi bahwa PPP tidak lagi memiliki kekuatan politik di hadapan penguasa, alias badut politik, dan sebagainya. Citra sebagai partai keumatan tinggal sejarah. Dan bahkan melekat pada penguasa, yang berarti dalam kendali eksternal penguasa, tak menjamin parpol tersebut bisa lolos ke Senayan.
Gosip-gosip penggembosan atas partai ini sudah bermunculan. Pertama, munculnya dua kubu yang berkonflik di Muktamar disinyalir sebagai pengondisian pelemahan PPP lewat pembelahan elit internal. Kedua, sejumlah kader baik di tingkat pusat maupun daerah dirayu untuk bergabung dengan partai-partai parlemen, khususnya partai pemenang Pilpres 2024 (Gerindra). Beberapa kader PPP di Jember dan Sampang dikabarkan mulai dirangkul Gerindra, sementara sebagian lainnya memilih hijrah ke PAN.
PPP ke Senayan?
Sekian persoalan di atas perlu jadi bahan pemicu bagi PPP dengan nahkoda baru ini. Mereka perlu menyusun beberapa strategi ke depan.
Pertama, penguatan konsolidasi kepemimpinan dan kepengurusan. Pekerjaan ini butuh energi dan pengorbanan seluruh unsur kepempimpinan PPP mulai dari unsur DPP, DPW, hingga Pimpinan Anak Cabang dan juga Badan Otonom PPP di seluruh Indonesia.
Kedua, dengan tidak memiliki kursi di Senayan, PPP harus sejak dini melakukan rekrutmen kader dari semua level pemilih serta memperkuat basis pesantren afiliasi PPP serta memperjelas arah perjuangan partai dengan komitmen pemberantasan korupsi, isu kemanusiaan lainnya.
Yang ketiga, PPP juga harus mendekati tokoh yang memiliki finansial, karena ke depan ongkos politik (political cost) semakin mahal. Artinya pemilu dengan biaya politik yang tinggi itu mustahil bisa dihindarkan oleh para kader partai politik.

Post a Comment