Pengarang
Table of Contents
Rontalin.com - Aku menaruh hormat pada pengarang. Sebab aku tak mampu mengikuti kerja sunyi mereka. Atau setidaknya belum mampu.
Membaca kumpulan esai Murakami yang terkumpul dalam satu buku berjudul “Novelis sebagai Panggilan Hidup”, membuatku bertafakur: betapa senyap jalan yang dipilih oleh seorang pengarang.
Pekerjaan mengarang memiliki beberapa tahapan, salah satunya adalah praktik riset dalam bentuknya yang paling luas. Tahap riset, utamanya yang melibatkan aktivitas sosial seperti wawancara, mungkin masih bernuansa solider. Tetapi ketika bahan dianggap memadai, ketika mesin ketik sudah mulai dibunyikan, seorang pengarang mulai masuk pada area yang sepenuhnya soliter.
Tema buku ini adalah perihal profesi pengarang, khususnya pengarang novel. Murakami berbagi cerita hidupnya tentang bagaimana ia “terlempar” dari yang semula sebagai pemilik sebuah usaha mini bar, hingga (entah bagaimana) jatuh pada profesi novelis.
Ia juga menjelaskan tiap undakan tentang proses kreatifnya dalam menulis: apa yang dilakukannya jika sudah menghadapi keinginan menulis novel panjang, apa bedanya dengan menulis cerpen atau esai yang relatif pendek, hingga perihal argumen subjektifnya tentang pentingnya menjaga keseimbangan fisik dan emosional untuk terus menelurkan karya yang baik.
Berangkat dari prinsip ini, Murakami gemar maraton. Bukan berarti tak suka lari jarak pendek, tetapi menurutnya, maraton lebih cocok dengan pribadinya. Faktor itu pula yang membuat dirinya lebih suka menulis novel panjang daripada cerpen atau esai.
Menarik melihat bagaimana kegiatan fisik ini ternyata berpengaruh terhadap kerja kepengarangan Murakami. Ia berpendapat bahwa terdapat kaitan erat antara kebiasaannya berlari yang dilakukan selama 30 tahun nyaris tanpa libur dengan kemampuannya untuk terus melahirkan karya. Kerja kepengarangan pada akhirnya juga menuntut adanya disiplin.
Jujur, aku benci sekali istilah ini. Alasannya karena aku payah dalam urusan mendisiplinkan diri. Di satu sisi keterampilan menulis menuntut disiplin, sementara di sisi lain aku sukar sekali untuk disiplin. Dan sebagaimana mahluk hidup pada umumnya, respon pertama untuk setiap hal yang tidak kita sukai adalah dengan mencoba menghindarinya. Alih-alih belajar mendisiplinkan diri, aku justru denial dengan prinsip yang mengatakan bahwa menulis menuntut disiplin. Sial!
Ini adalah prinsip yang sebenarnya umum saja: barangsiapa hendak meraih suatu keahlian, salah satu syarat yang mesti dipenuhi adalah disiplin. Di lain tempat, AS Laksana (salah satu penulis favoritku juga) bahkan menganjurkan untuk setiap mereka yang ingin melahirkan karya supaya menentukan deadline, kapan karya tersebut akan rampung. Setiap hal penting harus punya deadline. Jika tak ada deadline, maka hal tersebut tidak penting.
Proses pengarang, nyatanya, tak hanya menyaratkan ilham dan keahlian. Rentetan proses kreatif yang dikemukakan oleh Murakami jelas kompleks. Lebih jauh, proses ini juga menuntut disiplin ketat dan keinginan untuk terus tumbuh.
Murakami menceritakan bagaimana naskah yang menurutnya sudah rampung kadang masih harus dikoyak sana-sini karena adanya pendapat pihak ketiga. Istrinya, yang kerap dijadikan pembaca pertama dari naskah Murakami, kerap memberikan perspektif yang sangat bertentangan dengan apa yang ditulisnya. Tapi Murakami tak pernah sungkan untuk merevisi dengan mengacu pada saran yang diberikan oleh sang istri. Di sini, pengarang juga dituntut untuk rendah hati.
Kendati sebelum sampai di tahap ini Murakami sudah melakukan revisi mandiri berkali-kali, pendapat pihak ketiga tetap penting. Dalam satu kasus, Murakami bahkan pernah menjadikan beberapa bab yang dibuang dari naskah yang ia revisi menjadi satu karya yang betul-betul terpisah dari naskah yang lama. Pekerjaan ini tak hanya sunyi, tetapi juga sangat melelahkan.
Membaca buku yang kubeli di Gramedia Jalma ini, melahirkan sikap insyaf soal betapa pekerjaan menulis tak bisa hanya dilakukan setengah hati. Mesti total dan disiplin. Menulis juga harus diimbangi dengan daya tahan luar biasa sehingga proses menulis bisa terus menjadi proyek jangka panjang dan wadah untuk menumbuhkan diri sendiri.
*
Di balik kalimat-kalimat sederhana yang mudah dipahami (yang memang menjadi khas dari gaya menulis Murakami), juga bertebaran argumen yang menyisakan ruang perdebatan sebagai akibat dari perspektif yang subjektif.
Sampai beberapa tahap, aku bisa mewajari, sebab buku ini adalah kumpulan esai yang lebih dekat ke catatan atau jurnal harian pribadi. Murakami juga nampaknya menyadarinya dengan menulis penegasan semisal, "begitulah kira-kira menurutku", "sejak dulu memang begitu prinsipku", dan lain sebagainya.
Aku tak masalah dengan itu. Entah bagaimana aku suka saja dengan cara Murakami menulis. Aku juga menikmati dan merasa relate dengan tema-tema yang ia angkat dalam novelnya. Jadi, kendati aku mengiyakan ragam kritik yang diarahkan padanya semisal label misoginis dan lain-lainnya, tetap saja aku suka dengan penulis Jepang satu ini. Kadang, ‘suka’ memang tak butuh alasan rigid.
Yah, begitulah kira-kira pendapatku.

Post a Comment