Tak Ada Buku di Rumah Mewah Itu

Table of Contents

Rontalin.com - Cerita ini boleh diragukan karena bersumber dari kerumunan yang mungkin nanti oleh media dicap sebagai penjarah. Apalagi nanti jika si pemilik rumah mendengar, ia bisa berkilah bahwa dia sengaja tak menyimpan buku-bukunya di rumah itu. Ada rumah khusus, sebuah perpustakaan pribadi. Dan jika dia sudah bicara, bagaimanapun kau ragu dengan pernyataannya, tetap saja suaranya akan lebih nyaring ketimbang warga biasa. Dia punya uang, relasi kuasa dan segalanya. Pasti media-media mudah dipanggil untuk menyebarkan suara yang berpihak pada dirinya.

Tapi di kalangan tukang ngopi, cerita ini beredar dan mengundang gelak tawa karena apapun yang bersumber dari cerita seorang bernama Su’ieb, semuanya sudah dibumbui berbagai khayalan dirinya. Tapi asal bikin ngakak, kisah Su’ieb disenangi orang-orang di warung kopi. Ia raja kibul.

Kali ini bukan kibulan biasa, melainkan ada sumbernya. Su’ieb melanjutkan dari Anto. Anto melanjutkan dari Amin. Dan Amin sendiri orang ke sekian dari rantai cerita ini. Pada akhirnya, kisah ini hanya diduga-duga berasal dari sumber sosok yang ikut langsung pada hari penjarahan itu. Kapan itu? Belum lama ini. Tapi tak ada yang tahu persis, atau mungkin sudah lupa, kapan tepatnya.


*

“Sore itu…” mulai Su’ieb sambil mengunyah sisa gorengan yang masih ngutang, “ada kejadian penjarahan rumah pejabat di sebuah kota yang dipenuhi dengan mobil-mobil besar. Kota yang panas, dekat pantai dan rumah itu seperti sebuah keindahan yang ironi: terletak mewah di tengah kemiskinan.

"Rumah itu begitu besar. Tampak begitu indah dari luar. Di dalam, jangan tanya saya. Saya kan tak ikutan masuk..hehehe".

Selalu ragukan apa yang keluar dari mulut Su’ieb, itu yang selalu aku ingat dari perkataan Pak Kades yang menebarkan cerita korupsi tentang dirinya tapi beberapa hari kemudian polisi memakaikannya baju warna orange. Su’ieb hanya warga kelas bawah dan suka membual, katanya. Ya, Su’ieb memang pandai membumbui. Tapi kali ini, aku tetap ikut mendengarkan. Aku yakin, cerita ini pasti mengandung sedikit kebenaran. Meski aku tak tahu persis bagian mana yang harus dipercaya dan tak dipercaya dari Su’ieb.

"Kata orang yang masuk, rumah itu tak punya jendela. Sebab keindahan di dalam rumah itu akan hilang jika seseorang melongok keluar dan mendapati sekeliling rumah itu tak lain adalah potret kemiskinan. Sehingga cukuplah nikmati apa yang ada di dalam saja," lanjut Su’ieb.

"Rumah miskin itu milik siapa ieb...", tanya salah seorang di warung. Dari nadanya, ia hanya memancing kelucuan.

"Ya siapa lagi, potret kemiskinan itu ya rumah-rumah kita lah, hahaha," tawa Su’ieb diikuti orang-orang di warung itu. Aku ikut tertawa tapi lalu terasa pahit bila ku sadari mereka seperti berdamai dengan kemiskinan dan menjadikannya lelucon.


*

Pada suatu sore, sebuah kerumunan massa bergerak. Jauh beberapa hari sebelum kejadian, desas-desus sudah melayang di udara, terdengar terutama oleh warga sekitar bahwa pada hari ... akan ada pergerakan massa menuju rumah mewah itu. Rumah itu juga sudah ditinggalkan penghuninya. Ada penjagaan pula.

Tapi pada hari kejadian, tak ada halangan bagi massa untuk masuk. Penjagaan itu seperti tak berguna. Dengan berbagai spekulasi yang muncul kemudian hari, aparat yang berjaga di sana seperti patung. Ya, sebagian mereka sungguh-sungguh hanya melihat patung bersenjata. Apa yang terjadi kemudian? Media menyebutnya penjarahan. Banyak barang dari yang sepele hingga mewah diambil.

"Ini seperti akan mengulang cerita kelam 98.." kata sebagian orang.

"Ini berbahaya.. betapapun bejatnya perilaku pejabat itu, penjarahan tetap tak dibolehkan," kata yang lain.

Aku masih menyimak cerita Su’ieb sambil mencicipi kopi dan gorengan Bu Atun yang masih hangat. Su’ieb mendekatiku. Tanpa banyak cincong, aku suguhi dua batang jarum cokelat. Ia lanjutkan lagi ceritanya.

"Yang menarik, di rumah sebesar itu, tak ada buku. Kata orang-orang pintar yang ku dengar, itu menyedihkan..".

"Emang kau ngerti, ieb, apa yang dimaksud orang pintar itu..", sela salah seorang di warung itu sambil mengisap rokok Jazy Kretek yang tinggal separuh.

"Gini-gini aku pernah sekolah, Dul. Emang kau, yang cuma pake ijazah palsu biar dikira lulus SD.. haha."

Warung itu kembali dipenuhi tawa. Tak ada yang tersinggung. Termasuk seorang yang dituduh itu. Malah sebagian mereka nyeletuk mengaitkan isu ijazah palsu milik Pak RT-nya. Tambahlah api ketawa makin menyala.


*

"Orang pintar itu bilang begini. Rumah besar dan mewah milik pejabat tanpa buku itu hal buruk. Bayangin, dia pejabat, abdi rakyat, kalau mereka tak terbiasa membaca, lalu dengan cara apa mereka mengasah otak mereka.

Su’ieb lalu - seperti kebiasaannya -  memasukkan tokoh dirinya dalam andaian-andaian itu.

"Andai saja Su’ieb yang ini yang jadi pejabat”, ia sambil menunjuk dada, kedua bahu diangkat, “punya uang banyak, rumah bagus, maka pasti rumah besar dan mewah itu jadi perpustakaan umum, dan masyarakat miskin bisa baca.”

“Kalian tahu,” kali ini tangan Su’ieb diacung-acungkan ke mereka yang mendengar, “orang miskin itu bukan cuma miskin ga punya uang, tapi juga otaknya kurang, karena kurang asupan bacaan, kurang pengetahuan…”

"Kata siapa, ieb?", celetuk kawannya sambil ketawa.

"Kata orang pintar lah...!"

Su’ieb melirik kepadaku. Ia tahu aku orang sekolahan. Jadi dia ingin aku menyambung ceritanya.

"Menurutmu, gimana..."


*

Kabar tentang rumah mewah milik pejabat tanpa buku itu memang akhirnya menggeser soal-soal penjarahannya. Di tengah turunnya kepercayaan publik pada pemerintah, isu pejabat tidak baca buku semakin menambah kesan buruk pemerintah. Pejabat tidak baca buku jadi ironi, olok-olok dan publik seperti semakin yakin kalau mereka tak punya otak yang jenius. Cukup pandai bermain intrik, sedikit omon-omon tak berkualitas dan sisanya punya uang, maka cukup rumus itulah untuk jadi pejabat.

"Bayangkan kebijakan jenius apa yang bisa dihasilkan dari para pejabat dengan otak kosong, otak yang tak diasupi bacaan... Yah ampasss", kata seorang pengamat dalam sebuah talk show.

"Bung jangan termakan narasi pejabat tidak baca buku. Fakta bahwa rumah mewah itu tak punya buku, tak bisa dijadikan pijakan untuk menilai semua pejabat tak baca buku. Itu dua fakta yang berbeda”, sanggah lawannya tak terima lantaran ia merasa ada upaya menggeneralisasi semua pejabat bodoh.

Seperti biasa talkshow itu berakhir seperti anak-anak sedang rebutan mainan, tak ada yang mengalah.


*

Dalam beberapa hari kemudian, sebuah cerpen nongol di koran. Judulnya: Rumah Buku Gaib. Cerpen itu dibuka dengan pertanyaan:

Siapa bilang rumah itu tak berbuku? Orang-orang yang tak melihat buku pada hari penjarahan itu disebabkan kurangnya konsentrasi. Mereka dibuai keinginan untuk menjarah barang mewah. Dan buku, bagi mereka yang terjebak dalam kemiskinan yang abadi, tak terlihat berguna, bukan barang mewah. Buku tak bisa menolong perut mereka yang lapar. Itu sebabnya, mereka abai pada buku-buku yang ada di sana.

Lalu di bagian akhir, cerpen itu memberikan penguatan lain lewat semacam narasi surealisme: 

Bahkan, di antara kerumunan itu, ada beberapa orang yang punya kemampuan gaib. Menurut kesaksian mereka, rumah itu adalah rumah buku, seluruh dasarnya dibangun dengan buku-buku. Mereka juga bersumpah bahwa si pemilik rumah adalah pengoleksi buku-buku gaib. Dan pengetahuan yang disuntikkan ke kepalanya berasal dari sumber buku-buku gaib itu.

Cerpen itu menarik perhatian. Kini fakta rumah mewah tanpa buku tak lagi diperlakukan sebagai fakta, melainkan jadi lelucon, bertabur fiksi dan akhirnya kebenarannya dipunggungi, jadi kabur. Seakan fakta rumah mewah pejabat tanpa buku hanyalah cerita rekaan.

Diselesaikan di Warung Nasi pinggir jalan Gempol Sari, seberang Buana Abadi, 20 Oktober 2025


Post a Comment