Navigasi Politik Sunyi di Dunia Pendidikan

Table of Contents


 

Rontalin.com - Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman untuk tumbuhnya akal sehat, dialog, dan integritas. Namun di banyak institusi, pendidikan justru bergerak dalam lanskap yang rumit, politik yang membungkam, konflik senyap, dan kepemimpinan yang lebih dipandu persepsi daripada kebenaran.

Dalam situasi seperti ini, profesionalisme bukan lagi ukuran yang menentukan nasib seseorang. Namun justru kedekatan, kesan, dan interpretasi sepihak yang jadi penentu.

Akhirnya, sekolah berubah dari pusat pembelajaran menjadi ruang berjalan di atas kaca: terlihat tenang, namun rapuh di setiap langkah.

Pemimpin Perfeksionis: Ketika Standar Tinggi Berubah Menjadi Tekanan

Perfeksionisme pada pemimpin sering lahir dari ambisi mulia,  ingin sekolah maju dan tertata. Namun tanpa keseimbangan yang humanis, maka muncul dampak negatif seperti tidak toleran pada kesalahan kecil, menuntut output tanpa memberi ruang proses, mengukur kualitas dari kelengkapan administrasi, bukan makna pembelajaran, dan menciptakan budaya takut bereksperimen.

Perfeksionisme seperti ini bukan lagi pendorong mutu, tetapi mesin tekanan psikologis yang membuat guru bekerja untuk menghindari teguran, bukan untuk mengembangkan murid.

Pemimpin yang Mudah Menyalahkan: Ketika Isu Menggantikan Fakta

Di sisi lain, muncul tipe pemimpin yang cepat menarik kesimpulan, yakni (terburu-buru) mempercayai isu sebelum verifikasi, menjadikan individu sebagai objek koreksi tunggal, mengutamakan opini daripada data, dan membuat keputusan tergesa tanpa mendengar dua sisi objek data.

Budaya ini melahirkan tiga konsekuensi: stigma tanpa proses klarifikasi, kehilangan martabat profesional guru, dan keputusan yang tidak adil namun terlihat “tegas”.

Kebenaran tidak lagi dicari, cukup dengan sugesti yang terdengar meyakinkan, meskipun berlawanan dengan fakta valid.

*

Ketika ekspresi dianggap ancaman dalam sistem kepemimpinan yang rapuh secara emosional, maka penilaian terhadap bawahan berubah tidak proporsional.

Di antaranya: yang vokal dianggap sok tahu, yang kritis dianggap menantang, yang ekspresif dicap tidak beretika, dan yang diam dianggap paling aman dan setia.

Padahal, dalam organisasi yang sehat, vokal adalah kontribusi, kritis adalah kualitas berpikir, dan ekspresif adalah tanda kepemilikan. Sebaliknya diam belum tentu petunjuk loyalitas, melainkan bisa jadi itu berarti takut atau terluka.

Ketika label menggantikan logika, sekolah memasuki fase paling berbahaya: kebenaran tidak salah, tetapi dikalahkan oleh kenyamanan penguasa.

*

Mengapa Situasi Ini Bisa Terjadi?

Beberapa akar tersembunyi sering tidak diakui, seperti kepemimpinan berbasis hierarki, bukan kompetensi; minimnya literasi manajerial dan emosional; adanya budaya tidak berani memberi umpan balik ke atas; dan ketergantungan pada narasi, bukan evidensi, ketakutan kehilangan kontrol sehingga semua dianggap ancaman.

Dalam kondisi ini, guru bukan lagi mitra profesional, melainkan objek yang harus diatur, diam, dan patuh.

Solusi Realistis untuk Situasi Rumit seperti Ini

Pertama, bangun sistem verifikasi bukan asumsi. Setiap isu mestinya ditangani dengan prosedur klarifikasi, keputusan berdasarkan data tertulis, bukan desas-desus, hadirkan notulensi, laporan, dan observasi objektif.

Kedua, ciptakan ruang aman untuk suara profesional. Dalam hal ini, sekolah perlu menghadirkan: forum diskusi tanpa sanksi, SOP penyampaian kritik secara elegan, pembeda tegas antara kritik dan pembangkangan. Suara yang sehat bukan ancaman, itu vitamin organisasi.

Ketiga, Penguatan Kepemimpinan Emosional. Sebagai solusi jangka panjang, maka diperlukan: pelatihan self-awareness, teknik memberi teguran tanpa menyalahkan, mentoring agar pemimpin tidak memerintah dari rasa takut. Pemimpin kuat bukan yang selalu benar, tetapi yang berani merevisi.

Keempat, etika perlindungan martabat guru. Di sini, institusi dapat menetapkan: larangan labeling tanpa bukti, mekanisme keberatan yang aman, dan audit keputusan berbasis etika. Sekolah yang merawat guru akan otomatis merawat masa depan murid.

*

Pendidikan tidak pernah runtuh karena kekurangan fasilitas; ia runtuh ketika kebijaksanaan manusia di dalamnya hilang. Ketika kebenaran berseberangan dengan sugesti yang dianggap valid, tugas kita bukan ikut berteriak, melainkan berdiri teguh dengan cara yang elegan dan profesional. 

Sekolah yang maju bukan sekolah yang bebas kritik, tetapi yang mampu mengelola kritik sebagai bagian dari kedewasaan. Pada akhirnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling keras memimpin, tetapi siapa yang paling adil ketika diberi kuasa.

Post a Comment