PPP, Kaderisasi dan Akar Rumput Pesantren

Table of Contents


Rontalin.com - Eksistensi organisasi besar mana pun dapat terus berlangsung (survive) dalam rentang waktu yang panjang, tidak lepas dari keberhasilannya menjaga keberlangsungan kualitas perkaderan. Tentu tak hanya itu, saya sebutkan satu lagi: keberhasilannya menjaga konektivitas (dalam bentuk merangkul tentu saja) dengan masyarakat akar rumput sebagai basis pendukungnya, terutama masyarakat pesantren.

Yang pertama, perkaderan tidak hanya dapat dibaca sebagai penambahan anggota dalam arti kuantitatif. Melainkan perekrutan dalam arti kualitatif, yakni menekankan pada upaya keberhasilan menanamkan nilai-nilai, semangat, dari organisasi kepada kader-kadernya. 

Sedangkan yang kedua, menjaga basis dukungan diwujudkan dalam bentuk terus merangkul dan memperkuat keberpihakan kepada mereka. Jika yang pertama berkaitan pada upaya penguatan internal PPP lewat penguatan kaderisasi, yang kedua lebih kepada upaya pergerakan ke luar, lewat kontribusi perjuangan nyata bagi masyarakat.

PPP Partai Kader

Sejak awal, PPP memang telah menunjukkan komitmen dirinya sebagai partai kader. Penegasan bahwa PPP adalah partai kader juga disebutkan di dalam buku Pedoman Pelatihan PPP (2020). Ini setidaknya menunjukkan adanya kesadaran penting dari tubuh parpol berlambang Ka’bah ini bahwa keberlangsungan organisasi beriringan atau bergantung pada kemampuannya untuk melakukan kaderisasi. 

Atau dengan kata lain, gerak keberlangsungan organisasi ini harus ditopang oleh proses kaderisasi yang dilakukan secara kontinyu, masif, sistematik dan terstruktur. Goals yang dituju tak lain adalah untuk menghasilkan apa yang disebut kader yang militan dan berkualitas. 

PPP sendiri menetapkan lima karakter dari perkaderan (2020). Pertama, seorang kader harus bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan organisasi dan bukan bergerak sesuai selera pribadi. Dalam semangatnya, aturan dimaksud mengacu pada khittah perjuangan PPP berupa nilai-nilai keislaman yang membebaskan dan keberpihakannya kepada kalangan tertindas, kaum papa, atau dalam istilah lain: mustad’afin.

Kedua, kader PPP mesti memiliki komitmen yang istiqomah dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, kader PPP mesti memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung untuk menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Poin di sini menunjukkan bahwa inti dari kaderisasi adalah penekanan pada aspek kualitas. 

Keempat, kader PPP mesti memiliki visi dan kepekaan terhadap dinamika sosial dan memiliki komitmen untuk merespon berbagai situasi tersebut dengan ide-ide kreatifnya serta mampu melakukan apa yang disebut ‘social engineering.’ Ini menunjukkan bahwa PPP bukan sekadar organisasi politik yang berjuang ke dalam (untuk dirinya sendiri), tapi keluar yakni bergerak untuk mengabdi pada masyarakat, menjadi bagian dari pemecah masalah dari berbagai persoalan di masyarakat. Dengan kata lain, kader PPP diharapkan bisa menjadi semacam ‘problem solver’ baik bagi eksistensi organisasi maupun dalam perjuangan langsung untuk berkontribusi pada lingkungan.

Ciri bagian keempat di atas ini berkaitan dengan ciri kelima, yakni kader yang mampu menyerap apa yang dirumuskan oleh PPP ke dalam konsep 3 M: merakyat, moderat dan mondial. Merakyat adalah wujud semangat keberpihakan kepada masyarakat tertindas dan terpinggirkan (mustad’afin), moderat berarti kader dengan pemahaman keislaman yang ‘washatiyah’ serta prinsip-prinsip demokrasi Islam, dan mondial berarti memiliki pengetahuan/kemampuan untuk berkobalorasi dengan jejaring internasional.

Akar Rumput Pesantren

Masyarakat akar rumput dan terutama pesantren adalah bagian basis massa utama pendukung partai berlambang Ka’bah. Lihat saja dari sisi historis di saat Orba tengah berkuasa, PPP dapat bertahan dan terus menunjukkan perlawanan politiknya pada kesewenangan Orba saat itu melalui para kiai-kiai pesantren yang mewakili suara-suara masyarakat bawah.

Saya, yang lahir dan tumbuh besar di Madura, melihat betul dari dekat betapa solidnya para kiai di dalam memperjuangkan PPP di saat hegemoni partai politik milik Orba. Saya tak sedang beromantisme dengan sejarah, tapi ini setidaknya menjadi ‘pengingat’ (takut-takut kita lupa dengan sejarah) bahwa semangat itu mesti dijaga, atau jika itu redup, mesti dinyalakan lagi.

Bagaimana menjaga dan merangkul basis massa itu? Tentu saja tidak bisa dilakukan secara pragmatis politik, dan tidak bisa instan. Melainkan melalui proses panjang dengan menunjukkan komitmen yang sungguh-sungguh keberpihakan kepada mereka. Ini kembali mengingatkan kita perlunya untuk melihat konsep 3M PPP di atas, yang salah satunya M nya adalah Merakyat.

Pemaknaan ‘merakyat’ yang berarti keberpihakan kepada rakyat berubah seiring waktu dalam konteks apa yang diperjuangkan. Ini sejalan dengan tuntutan perubahan zaman. Jika dulu, apa yang membuat PPP kuat, memiliki solidaritas jempolan, didorong oleh kebutuhan ‘melawan’ praktik-praktik korup Orba. Saat ini, tantangannya beda. Apa tantangannya? Inilah yang saya maksud bahwa keberpihakan atau merakyat itu mesti disesuaikan dengan pembacaan zaman, untuk dapat mendeteksi kebutuhan akar rumput sebagai pihak yang mesti kita beri perhatian dan perjuangkan.
 

Post a Comment